Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Pilwalkot Makassar dan Preman-premannya

25 Juni 2013   21:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:26 477 0
Kurang dari 100 hari pemilihan walikota dan wakil walikota Makassar akan di gelar. Pada 18 September 2013 nanti, warga Makassar akan menentukan pilihan, siapa yang akan jadi pemimpinnya selama 5 tahun ke depan.

Perang issu, strategi dan pencitraan mewarnai perjalanan hari-hari Makassar. Banner, baliho, serta iklan media massa, menjadi media favorit 10 pasangan calon walikota untuk bersosialisasi.

Disamping yang disebutkan di atas, para calon atau tim sukses juga rajin memenuhi undangan televisi lokal sebagai narasumber. Berbagai topik dikupas oleh para narasumber, termasuk tawaran-tawaran program jika kelak terpilih sebagai walikota.

Senin malam, (23/6) Celebes TV, salah satu stasiun TV lokal Makassar yang berkantor di lantai 15 Menara Bosowa menggelar talk show, dengan tema "Saling Gembosi, SUKA versus NOAH". Menghadirkan Muhammad Arsyad dan DR. Firdaus Muhammad, seorang dosen politik UIN Makassar. SUKA adalah akronim dari Supomo Guntur - Kadir Halid. Dan NOAH adalah akronim dari None (sapaan akrab Irman Yasin Limpo) - Busrah Abdullah.

Muhammad Arsyad adalah kader Golkar yang berubah haluan mendukung pasangan NOAH (None-Busrah) yang diusung oleh PPP dan PAN. Golkar sendiri mengusung SUKA, Supomo Guntur berpasangan dengan Kadir Halid, adik kandung Nurdin Halid.

Dalam talk show tersebut, Arsyad menilai, Golkar telah menyalahi prosedur penetapan calon. Telah ada deal 1 tahun sebelumnya antara Supomo Guntur dengan Kadir Halid untuk berpasangan sebagai calon walikota dan wakil walikota. Karena itu banyak kader yang kecewa atas sikap Golkar tersebut. Salah satunya adalah Arsyad yang kemudian melampiaskan kekecewaannya dengan mendukung calon walikota lain.

Diskusi sementara berlangsung, tiba-tiba belasan orang dengan seragam Tim Sukses SUKA datang menganiaya Arsyad. Pukulan dan tendangan bersarang di muka Arsyad. Juga terekam kamera beberapa orang memukul Arsyad dengan menggunakan helm.

Beberapa peralatan redaksi dikabarkan rusak akibat aksi brutal kelompok orang yang diduga pendukung SUKA tersebut. Petugas keamanan sendiri tidak mampu menahan pengacau tersebut masuk kedalam studio.

Kemarahan massa pendukung SUKA diduga dipicu karena Muhammad Arsyad dinilai telah menjelek-jelekkan Golkar dan terus menggembosi pasangan Supomo-Kadir (SUKA). Arsyad malah telah menyebar ratusan banner di jalan-jalan strategis Makassar bertuliskan, "Saya Golkar Saya None".

Cederai Demokrasi

Perbedaan pilihan dalam sebuah perhelatan pemilihan kepala daerah seharusnya dipahami sebagai sebuah dinamika politik.

Bukankah "perbedaan" memang mendapat ruang yang luas dalam demokrasi?

Tetapi teori tetaplah teori. Pada tingkat implementasi, keberadaannya kerap hanya berada di pinggir lapangan, menjadi cadangan bahkan penonton. Faktanya, sekumpulan orang yang lebih pantas disebut preman itu telah beraktualisasi dengan kekerasan dalam menanggapi sebuah perbedaan. Arsyad terlanjur "Bonyok" dan kini terbaring di rumah sakit.

Tidak hanya mencederai demokrasi, aksi itu juga mengancam kebebasan pers. Jika pihak berwajib tidak segera turun tangan menuntaskan kasus ini, maka bisa berakibat fatal. Lembaga-lembaga penyiaran akan terkekang mengangkat tema, takut pada begundal-begundal piaraan itu. Akibatnya, publik akan menerima informasi yang hanya direstui oleh pemilik begundal. Tentu saja, informasi yang direstui itu bisa jadi hanya menjadi sampah informasi bagi publik.

Begundal piaraan? Dugaan sementara mengarah kesana. Sebuah aksi yang dilakukan banyak orang sudah pasti terencana. Ada pencetus ide, koordinator aksi, dan seterusnya. Nah, jika mereka yang datang menyerang hanya sekelompok preman biasa, lantas apa kepentingannya menganiaya Arsyad?

Pada titik itu, kesimpulan kita sudah barang tentu mengarah pada adanya seseorang aktor intelektual di balik kejadian itu. Ada aktor yang sangat berkepentingan tehadap babak belurnya Arsyad. Siapa aktor itu? Kita hanya bisa menduga-duga. Pihak Kepolisianlah yang paling berhak untuk mengusut itu.

Tapi kuat dugaan, ini karena berkaitan dengan pemilukada Makassar dan membelotnya Arsyad dari Partai Golkar. Pada sisi yang lain, bisa juga preman tersebut adalah suruhan dari orang tertentu yang merasa dirugikan oleh Arsyad sebagai aktifis LSM anti korupsi. Kita tunggu saja bagaimana hasil penyelidikan dan investigasi pihak kepolisian.

Tetapi jika benar, semua ini karena Pilkada, maka kita semua warga Makassar seharusnya bersatu untuk memberi sanksi sosial kepada pelaku dan aktor intelektualnya.

Jika aktor intelektualnya adalah seorang timses salah satu kandidat walikota, mari kita bersama-sama untuk tidak memilihnya. Logikanya, Makassar sedang mencari pemimpin yang bisa mengayomi dan memberdayakan masyarakatnya. Bukan memberdayakan preman. Begitukah? Tabe ... !!!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun