Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Renungan Indah

28 September 2012   02:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:34 174 4
Mengapa manusia diciptakan dengan berbagai macam karakter? Mengapa ada orang seperti ini dan seperti itu? Mengapa Allah menciptakanku sebagai orang yang seperti ini?

Aku adalah anak dari keluarga yang cukup bahagia kupikir. Orang tuaku lengkap, mereka bertanggung jawab mendidik dan menyekolahkanku sampai sekarang, di perguruan tinggi. Semua saudaraku pun mendapatkan perlakuan dan fasilitas yang sama. Kalaupun ada perbedaan, hanya menimbulkan perselisihan yang sebentar saja. Keadaan ekonomi pun bisa dikatakan mencukupi. Walaupun terkadang perut harus menahan lapar karena ketiadaan logistik. Namun biasanya tidak bertahan lama. Dibandingkan dengan tetangga, banyak yang sangat kekurangan, sampai makan pun harus meminta ke tetangga yang lain. Kalaupun berkecukupan, banyak yang rela mengorbankan pendidikan anak demi materi. Demi panen yang melimpah, demi kerbau yang banyak. Demi lemari yang penuh dengan uang. Demi banyaknya perhiasan yang memberati badan. Keluargaku? Alhamdulillah tidak. Alhamdulillah.

Pendidikan orang tuaku pun tidak terlalu tinggi. Ibu adalah lulusan SD dan bapak lulusan D2. Namun keinginan mereka untuk keberhasilan anak-anaknya sangat tinggi. Mereka rela tidak membeli pakaian, perhiasan, ataupun memperbaiki rumah (yang sudah rusak) demi anak-anaknya, demi anaknya tidak kelaparan di perantauan. Mereka rela menahan malu meminjam uang kepada tetangga demi anaknya membeli buku. Tak ada materi, kasih sayang pun jadi.

Berangkat dari keluarga seperti itulah aku tumbuh.  Sedari kecil aku sudah dididik untuk mandiri, untuk bertanggung jawab, untuk patuh kepada orang tua. Dari kecil,  jika ketahuan mengompol, ibu akan memarahiku dan menyuruhku untuk mencuci seprai bekas ompolku dan menjemur kasurnya. jika mengompol lagi, perintah itu akan terulang lagi. sejak kecil pula, ibu sudah mengajariku untuk berjualan. Menyetorkan es dari satu warung ke warung lainnya dalam satu kampung. Jika tidak mau, aku akan dimarahi pula. Namun marahnya ibu hanya diam. Jangan dibayangkan enak, walaupun diam, kondisi itu sangat tidak mengenakkan sehingga mau tidak mau aku yang harus mengalah. Awalnya malu, namun lama kelamaan terbiasa juga. Bahkan jika esnya tidak laku, sangat sedih rasanya. Sedih untuk membawa pulang es tersebut kembali, sedih akan membuat ibu sedih.

Sedangkan bapak, beliau lebih sering menyuruhku untuk belajar. Setiap malam beliau akan mengontrolku untuk belajar. Jika ketahuan hanya bergurau dan menonton TV bapak akan sangat marah. Sehingga pula, mau tidak mau aku harus belajar. Karena terpaksa, materi yang kupelajari banyak yang tidak masuk di kepala. Akhirnya aku tertidur, dan bapak tak bisa memarahiku lagi. hehehee... Ketika sekolah libur, aku terbebas dari tuntutan belajar. Aku bebas menonton TV. Namun kebahagiaan itu seringkali terusik. Jika bapak melihatku menganggur (di depan TV), ia akan menyuruhku untuk memijitnya. Huhhhh! bagaimanapun, bapak akan menuruti setiap permintaan anak-anaknya jika keadaan memungkinkan. (so pastilah)

Begitulah, masa kecilku...

Memasuki masa remaja, sebagai anak terakhir, sekolahku selalu di dalam daerah. Tak pernah keluar kota. Setiap hari harus diantar bapak ke sekolah. Sehingga jika malamnya aku tidak mau memijit bapak, aku tidak akan diantar ke sekolah. Aku akan terlambat. Sering pula hal itu terjadi. Sering aku terlambat masuk sekolah sehingga di kalangan teman-teman aku dikenal sebagai murid teladan (sering telat). Sebelum sekolah aku juga harus membantu ibu untuk membersihkan rumah, paling tidak mencuci piring.

Kasih sayang, paksaan, dan ancaman. Ketiga hal itu yang mendominasi perkembanganku kukira. Walaupun dipaksa, aku tetap bersedia. walaupun tidak ikhlas, aku tetap melakukan perintah bapak. Walaupun terburu-buru, aku tetap harus mencuci piring.

Sekarang, aku menjadi dewasa awal yang penurut kepada orang tua. Tak banyak yang aku tuntut. Tak heran, di dalam keluarga aku menjadi anak ‘tersayang’ (versi kakakku). Jika dimarahi aku cenderung diam lalu menangis. Dalam mengahadapi tekanan pun aku tak mau mengungkapkannya pada siapa pun. Aku akan menangis diam-diam dan mengurung diri atau setidaknya mencari tempat yang sepi untuk menangis. Jika diketahui orang lain, mbak atau ibu bahkan bapak, aku akan sangat marah. Marah pada diriku sendiri, sehingga membuatku berusaha lagi agar bisa lebih menyembunyikan tangisku.

Mengapa karakterku seperti ini? Mengapa begitu banyak karakter manusia di bumi ini? Teringat akan cerita Qabil dan Habil. Mereka berasal dari satu keluarga, mereka berasal dari satu orang tua. Mereka berasal dari satu kebudayaan. Namun hasilnya, karakter mereka sangat berbeda. Kupikir, karakter adalah anugerah. Selanjutnya, baik buruk karakter tergantung dari masing-masing pribadi yang menginginkannya. Apakah akan menyesuaikan sesuai norma ataukah tidak.

Sudah menjadi kehendakNya pula kupikir tentang keadaanku yang seperti ini. jika sedang sedih, kadang terbersit dalam hati untuk menyendiri di suatu tempat yang tidak ada orang yang mengenalku. Dengan menyendiri, aku tidak akan tersakiti dan tidak akan menyakiti. Namun kemudian hatiku berkata, “Indah, manusia memang berbeda satu sama lainnya. Jikapun tersakiti, itupun jadi konsekuensi hidupnya. Konsekuensi yang akan mendewasakan dirinya. Mereka diciptakan berbeda untuk saling melengkapi. Saling mencintai. Mereka diciptakan berbeda untuk saling bertoleransi.” Begitulah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun