Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Gurungun

7 Oktober 2010   05:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:39 51 0
Sejak orde baru tumbang, harapanku memang sudah pupus. Saya terus terbayang dengan ungkapan guruku di kelas enam SD. Kalauuu...saja nanti Soeharto tumbang atau kelak mati...maka, tak akan ada harapan lagi bagi kita. Satu-satunya figur yang paling dicintai rakyat karena teori pembangunannya.

Soeharto berhasil meyakinkan Sang Guru dengan Repelita dan Pelita yang telah berjalan baik. Apalagi setiap guru wajib berwarna kuning. Saya pun ikut pesimis jikalau kelak Soeharto mati, siapa lagi yang akan menjadi figur pembangunan. Maka, saya pun ikut kuning supaya dapat memertahankan keawetan warna kuning.

Guruku ini salah satu tauladan di sekolah. Cukup cerdas dan punya pengetahuan lebih dari guru lainnya. Pagi, sebelum masuk kelas pak guru telah berdiri di depan ruangan menanti kami dengan formasi barisan ABRI dahulu sebelum masuk kelas. Periksa kelengkapan belajar dan kelengkapan atribut kami. Siap gerak, Lancan depan dan setengah lancan kiri gerak, istrahat di tempat gera!, setiap pagi. Periksa kuku dan pertanyaan sikat gigi tau tidak pagi ini? Tidak! Berarti mistar kayu jati pada dua jari dengan sikap vampire Tentunya...Pak guru tidak berani periksa , beliau menunggu jawaban polos dan jujur anak-anak kampung yang ditip Ibu sebelum ke sekolah. Sebab, di kampung kami hanya orang tertentu yang dapat membeli pasta gigi dalam kemasan. Orang tua masih mengkonsumsi sehelai daun siri plus selenting kapur sediadan ditumbuk setiap pagi.

Tentunya, sekarang sulit menemukan dan agak jarang menemukan orang tua yang mengunyah daun siri. Para orang tua jaman sekarang juga telah sedikit, mereka telah membunuh ketuan itu dengan jaman yang tak mengenal tua. Gigi mereka tak ada lagi yang ompong. Sebab dimana-dimana gigi juga sudah terindustrikan. Terlibat dalam pasar-pasar yang akhirnya orang banyak memilih gigi produk luar negeri , jauh lebih PD dari pada produk Tuhan.

Guruku, benar-benar pesimis setelah gerakan 1998 menurunkan Soeharto. Walau sejenak terobati dengan hadirnya Habibie sebagai penganti. Tetapi, hal itu tidak bertahan lami si pembuat sayap pesawat itu tidak dapat bertahan lama. Orang-orang di jakarta mengangapnya tidak jauh beda dari pendahulunya. Saya juga mendengar kabar kalau Sulawesi ingin pisah dan Merdeka. Aku juga tak paham apa alasannya. Apakah Habibie tidak awet atau apa. Yang jelasnya Guruku benar-benar kini telah putus asa. Sekembaliku dari Makassar, saya mendengar kabar beliau defresi. Entah karena Soeharto atau karena akibat meninggalnya istri yang dicintainya. Saya juga tak tahu sebab utamanya. Saya hanya terus teringat dengan pernyataannya tentang Soeharto yang kalau bakalan kelak jatuh maka negeri ini sulit diselamatkan.padahal pertemuan terakhirku dengan sang Guru dia masih sempat baca sumbangan di masjid.di kampung. Suatu solidaritas yang dibentuk warga untuk pembangunan masjid.

Saya masih ingat itu. Bahkan juga mimbar itu dulu masih sering disebut-sebut warna kuning yang satu-satunya warna yang wajib didukung. Laiknya dukungan warga membangun masjid demi agama. Soloidaritas agama untuk pembangunan lima tahun dan pembangunan masjid yang sejalan geraknya.

Bertahun-tahun masjid itu mengumumkan sumbangan demi sumbangan masuk. Bahkan acap kali calon bupati dan calon anggota dewan datang menyumbang kala pemilu atau pilkada marak suksesi. Para calon pejabat kadang-kadang berebut mengisi daftrar penyumbang. Menjadi penyumbang tetap saat musim suksesi pesta demokrasi yang melibatkan masyarakat. Kadang kadang juga berebut datang melayat dan sekadar memberi pengantar duka cita bagi keluarga yang ditinggal dan memberi nasihat pada keluarga untuk tetap teguh,ikhlas dan sabar dengan ujian yang diberikan Tuhan.

Seperti sang guru menahan ujian dengan jatuhnya rezim Soeharto dan sepeninggal istrinya. Ujian solidaritas warga dan pembangunan masjid yang jalan ditempat. Ujian dan derita yang ditinggalkan Soeharto dan kroninya setelah jatuhnya. Berlipat ganda ujian dan malapetaka. Hingga ujian masuk perguruan tinggi dan dan ujian akhir nasional. Ha...ha...!

Setelah Soeharto dan sang Guru, ujian demi ujian berlipat ganda. Mungkin ini yang menjadi keraguan besar dari guru saya. Ragu bertemu dengan kenyataan pasca Soeharto. Ragu dengan penegakan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, pemberantasan mafia-mafia, ragu pada tim-tim yang kini berlapis-lapis dibuat pemerintah. Pada Satgas mafia hukum,komisi pemberantasan korupsi atau ragu dengan isu-isu yang silih berganti. Masalah, datang tak di undang pulang tak diantar. Seperti teka-teki Jelangkung dalam film-film horor. Atau mungkinkah ini patut kita sebut horor democration. Menakutkan dan sedikit menggelikan. Mungkin dia juga ragu dengan rusaknya alam, kondisi ekologis yang mengancam akibat ulah tuan-tuan kadal kapital.

Rezim berganti masalah bertambah.ibarat selebritis dengan gaung yang berubah-ubah. Style dengan perbendaharaan motif yang berotasi. Seperti angka-angka dalam detik,jam,hari,bulan dan tahun. Sembilan belas enam-enam dengan kontadiksi interminutes nasakom pancasilais, tiga puluh dua tahun dengan merek pembangunan pancasilais dengan pedoman PE-empat.

Jubah berganti, sembilan delapan disiasati.dalih reformasi pembangunan. Berenggut dengan kecemasan yang semakin meninggi. Lalu, merangsek dan mengintip lagi kabinet persatuan nasianal pluralis ala Gusdur dan kembali digotong dengan royongnya Putri cantik enam-enam. Dua puluh satu oktober dua ribu empat hingga dua ribu sembilan menjadi kepura-puran kembali membinasakan.

Saya kembali ke kampung dan menemukan sang guru tidak membaca lagi sumbangan di masjid. Tetapi rajin membaca dan mengirimkan SMS romantis dan kecemasan yang merundung hatinya. Kecemasan pada masa lalu yang terenggut dan upaya masa muda yang sulit beradaptasi zaman. Mau atau tidak, pak guru pun memulih jalan yang tengah diderai badai senja. Poak guru tak lagi dengan kalimat-kalimat spiritualnya menyambut para donatur masjid. Dia dalam lingkaran puberitas, angka dua, angka yang ditandangnya sebagai angka kemenangan jalannya. Seperti dirinya dalam lingkaran gadis-gadis yang tidak bermain -main dengan buku mata pelajaran lagi di sekolah. Jempol tangannya disemai kalimat-kalimat berita cinta serta bagaimana menjadi seorang wanita yang tayang di iklan-iklan tv. Mereka membenci dan tak menyukai lagi naturalisme gadis desa. Mereka bergaul dengan guruku beserta remaja-remaja mode versi kampung.hasil adaptasi anak muda desa oleh refleksi realitas media-media. Mereka menjadi generasi yang jijik dengan kapur siri nenek dan merasa bangga pada gaya oplosan ...begaul dengan iklan-iklan di tv.

Kini, dari dua puluh dua oktober dua ribu sembilan kembali meretas jalan baru, kampung-kampung,desa-desa,pedalaman-pedalaman larut dalam bayang-bayang irasionalitas. Tanpa kehendak pikir tergerak-gerak menyembah tubuh-tubuh dan gaya pikir tuan-tuan modal. Menyimpang dalil kebermaknaan kultural. Isu keterbelakangan membawa serta dongeng-dongen kampung meninggalkan lembah-lembah, sungai-sungai. Tak ketinggalan dalam negosiasi dan penyembahan pada kalimat-kalimat fiktif kemajuan. Menelisik dalam episode keterjajahan baru.

Baik si kerbau,si buaya dan si cicak tidak ingin ketinggalan pada episode reproduksi serta globalisasi pesanan dari Amrik, hingga pinggir kali.ikutmelesat ke dalam lembah-lembah baru yang tak kunjung usai...!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun