Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Masalah : Disembunyikan atau Diselesaikan?

9 Januari 2011   09:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:48 42 0
Suatu malam seorang anak kelas 1 SD mengerjakan PR matematika. Sesekali diliriknya ayahnya yang sedang mengetik dengan komputer. Anak itu tampak ingin mengatakan sesuatu tapi berulang kali diurungkannya.

“Besok ulangan matematika,” kata Pak Guru tadi pagi.

Dan anak itu kembali pada kebimbangan yang sama pada malam harinya. Ayahnya sedang membaca sebuah buku. Seperti sebelumnya, anak itu mengurungkan keinginannya untuk bertanya.

Jadwal Ujian Tengah Semester telah dibagikan. Anak itu menimbang-nimbang selama perjalanan pulang. Malamnya, ia menempel jadwal di dekat meja belajarnya.

Ayahnya menghampiri dan bertanya, “Senin depan sudah mulai UTS ya?”.

Ia mengangguk.

“Sudah siap? Ada mata pelajaran yang sulit tidak?” ayahnya bertanya lagi.

Anak itu tercenung beberapa detik namun kemudian segera berujar, “Siap dong Yah. Gampaaang.”

Ayahnya tersenyum, “Ayah percaya padamu, Nak.” Setelah itu beliau meninggalkan anak itu sendirian di kamarnya.

Seperti itulah yang terjadi pada PR-PR, ulangan-ulangan, sampai Ujian Akhir Semester. Dan tibalah saatnya penerimaan rapor. Anak itu menunggu di rumah dengan gelisah. Ayahnya masih di sekolahnya, mengambil rapor.

Rasanya sudah sangat lama ia menunggu saat ayahnya muncul di pintu depan. Ayah tidak membawa apa-apa. Beliau hanya meminta ia berganti baju. Selanjutnya ayah mengajaknya masuk mobil dan membawanya ke taman bermain. Mereka menaiki berbagai wahana, namun ia justru merasa makin tak tenang. Apa maksud ayah dengan membawanya ke sini?

Akhirnya ayah membelikannya es krim sebagai penutup acara di taman bermain. Lalu mereka pulang dan istirahat di ruang duduk. Anak itu tidak bisa menahan diri lebih lama lagi.

Dia bertanya ragu-ragu, “Ayah, apakah…”

Ayahnya menatapnya lalu tersenyum, “Ya, apa?”

“Apakah.. Apakah nilai matematikaku bagus?”

Ayahnya tersenyum lagi, “Tidak, nak. Nilai matematikamu tidak sebagus nilaimu yang lain. Dan gurumu menulisnya dengan tinta merah.”

“Lalu kenapa ayah mengajakku ke taman bermain?” wajah gelisahnya berubah bingung.

“Apa yang kamu rasakan selama di taman bermain tadi? Senang?” ayah balik bertanya tanpa menanggalkan senyum di wajahnya.

Anak itu menggeleng, “Tidak sesenang biasanya. Aku bingung dan gelisah selama di sana, Yah. Aku tidak tahu apa maksud ayah mengajakku ke sana sementara…” Dilihatnya wajah ayahnya yang masih tersenyum lalu dilanjutkannya ucapannya, “Sementara aku yakin nilai matematikaku tidak bagus.”

“Pergi ke taman bermain itu memang hukuman untukmu,” ujar ayah.

“Karena nilai matematikaku tidak bagus?”

“Bukan. Tapi karena kamu tidak mengatakan sejak awal pada ayah bahwa kamu punya kesulitan dalam matematika. Sekaligus sebagai permintaan ma’af karena seharusnya ayah lebih memperhatikan belajarmu, tidak langsung puas mendengar kamu berkata bahwa kamu sudah bisa.”

“Aku tidak ingin membuat ayah kecewa dengan berkata aku tidak bisa. Ma’af ya Yah, seharusnya aku jujur sejak awal…”

***

Itu anak SD. Namun banyak juga orang yang usianya tiga kali lipat atau lebih dari usia anak itu yang masih berpikiran seperti dia. Merasa bahwa membuat suatu masalah menjadi tidak terlihat sama artinya dengan membuat masalah itu lenyap dari muka bumi. Padahal itu adalah dua hal yang sangat berbeda.

Tidak ingin terlihat tidak bisa. Tidak mau membuat kecewa. Mungkin itu tak mengapa jika bersamaan dengan itu, dia bisa melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalahnya. Namun jika tidak, itu hanya akan membuat dia berkubang dalam masalahnya selama dia tidak jujur, terutama pada dirinya sendiri.

Hmm.. Hmm.. Hmm..

Yogyakarta, 9 Oktober 2010 17:13

*sembari menyaksikan diskusi anak-anak muda di Cangkringan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun