Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Senin Pahing di Hutan Larangan

13 Mei 2022   12:24 Diperbarui: 13 Mei 2022   12:42 345 19
Hari sudah beranjak gelap, tapi burung hantu masih saja terus bersuara. Gerakan badannya pun tak seperti biasanya, lebih aktif dan sesekali hewan itu menengadah ke langit kemudian menunduk lalu menatap ke depan, menoleh ke kiri dan ke kanan. Kakinya sering berpindah tempat cengkraman. Semacam ada isyarat kekhawatiran hebat yang sedang dialaminya.

Tak jauh dari burung hantu itu bertengger, sesok lelaki tua berkumis panjang berwarna putih keperakan dengan kulit keriput menggores wajah yang memancarkan cahaya ke syahduan sedang membersihkan tongkat kayu melengkung  berwarna hitam legam. Sesekali ia menoleh ke burung hantunya, dengan wajah santai diiringi senyum yang menyejukkan.

"Sudahlah, tak usah kau khawatirkan tentang cipratan cahaya merah di langit itu Lajaluka. Nikmati saja bulan purnama ini, jika memang sudah waktunya tiba, kita pun tak mampu menolaknya." ujarnya dengan suara lirih.

"Kut-kut-kut" begitu balasan suara yang keluar dari mulut burung hantu dengan kepala manggut-manggut.
Lelaki tua itu pun beranjak dari tempatnya membersihkan tongkat, kemudian duduk di lincak bambu yang tak jauh dari tempat burung hantu bertengger.

"Ini sudah lewat tengah malam, ada baiknya kau berkeliling, mungkin dia ada di suatu tempat hutan ini. Jika tertangkap oleh pandanganmu segera temui aku." ujarnya sambil membelai bulu burung hantu itu.
Tak lama Lajaluka terbang, hanya dengan sekali kibasan sayapnya yang lebar, tubuhnya lenyap di kegelapan malam.

***

"Sudah kukatakan berkali-kali padamu, serahkan saja hutan ini, tentu, tak sampai seperti ini keadaanmu." ujar lelaki wajah seram mata dikelilingi lingkaran hitam dengan kaki yang terlihat terbang sedikit di atas tanah dan tangan membentang hingga terlihat jubah hitamnya seperti kelelawar.

Namanya Putera Nara, lelaki bengis itu sedang menaklukkan sepasang suami istri penjaga hutan pulau terpencil. Kedatangannya bukan tanpa sebab, itu karena sepasang suami istri ini baru saja mendapat momongan satu hari yang lalu. Putera Nara khawatir, bila ia tak segera menguasai hutan ini, akan ada lagi keturunan yang lahir dari mereka berdua. Dan jika mereka tak ditaklukan akan ada lagi kelahiran bayi-bayi selanjutnya, tentu hal ini akan sangat mempersulit dirinya di masa mendatang. Apalagi sepasang suami istri ini juga memiliki kesaktian yang tak bisa dianggap sebelah mata.

"Sejengkal tanah, tak kan kuserahkan padamu walau harus nyawa taruhannya." ujar lelaki yang berdiri di depan istri dan bayinya itu.
"Hmmm, jika itu sudah menjadi pilihanmu, RASAKAN!" teriak Putera Nara dengan wajah murka.

Tak lama dari balik jubah hitamnya yang besar itu keluar ular kobra dari kiri dan kanan sepanjang 15 meter dengan bentuk badan sebesar batang pohon kelapa yang sudah tua. Dua ular kobra itu sekejab sudah melilit mereka berdua dan bayi yang ada di pelukan ibunya itu pun menangis sejadi-jadinya.

"Kolobra Naja," teriak Putera Nara lagi. Sekejab keluar dua ular kobra lagi dengan bentuk dan panjang yang sama seperti sebelumnya. Kemudian melilit sepasang suami istri dan bayinya hingga tak terlihat bentuk badan mereka.
"Mati kau penjaga hutan." teriak Putera Nara dengan senyum nyir-nyir.

Tak lama di antara lilitan 4 ular kobra itu terlihat sinar putih kecil yang semakin lama semakin membesar seperti balon karet yang ditiupi udara.

"Dewana Ragawanda" teriak lelaki yang memeluk istri dan bayinya. Sontak membuat cahaya putih membesar hingga menembus langit. Putera Nara yang terkejut melihat cahaya nun silau itu menyebar, dengan cepat menyingkap baju ke wajahnya dan menghilang lenyap.

Tak lama terdengar suara gemuruh disertai kilat di langit yang begitu keras. Sepasang suami istri itu kemudian lenyap hilang entah kemana rimbanya. Dan dari kejauhan, Putera Nara hanya mampu menyaksikan dari ruang kuali sakti keempat ular kobranya menjadi abu. Ia mulai merasakan sesak napas.

***

Posisi bulan sudah tak lagi tegak, suara jangkrik saling bersahutan, malam pun semakin dingin. sorot kedua bola mata lelaki tua itu semakin tajam ke arah langit, dengan tatapan yang penuh harapan, dia menangkap sekelabat burung hantu mulai mendekatinya.
"Sudah kau temukan dia, Lajaluka?" tanya lelaki tua itu dengan suara parau.

Burung hantu itu menjulurkan sayapnya dan manggut-manggut. Dengan bergegas, tangan kiri lelaki tua itu menyambut uluran sayap Lajaluka dan berdiri tegap. Tak lama ia hentakan satu kali tongkat kayu melengkung di tangan kanannya, lelaki tua dan burung hantu itu hilang lenyap.

Dan sekejab sudah berada di dekat bayi mungil berselimut batik warna coklat. "Lihatlah cahaya putih bayi ini Lajaluka. Ooo, betapa lucunya. Hmm, sebaiknya kita segera kembali dan memberi nama padanya." ujar lelaki tua.
Lagi-lagi burung hantu hanya manggut-manggut setiap mendengar ajakan lelaki tua.

Tak menunggu waktu lama, ia hentakan lagi dua kali tongkatnya itu lalu menghilang. Dan muncul tepat di depan gubuk tempat tinggal mereka. Lelaki tua bergegas memasuki gubuk, kemudian duduk di dipan bambunya sambil menimang-nimang bayi mungil itu.

"Lajaluka, tentu kau tahu hari apa ini?" tanya lelaki tua. Burung hantu pun mengangkat sayapnya tinggi-tinggi dan menggelengkan kepalanya sebanyak dua kali.

"Oo, Senin Pahing, ya." kata lelaki tua melihat bahasa tubuh Lajaluka. "Sudah kuduga," ujarnya lagi "Hari dan wetonnya memiliki kesamaan dengan nama yang akan kusematkan," dengan penuh keyakinan dan suara lirih, "Dewandaru."

"Kut-kut-kut." timpal Lajaluka sambil mengibas-ngibaskan sayap.

Bayi mungil itu, kini di tempat yang aman. Ayah dan ibunya seolah mengirimkan pesan pada lelaki tua penunggu hutan larangan bahwa hutan di Karimunjawa membutuhkan bantuannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun