Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

Merevisi Pasal-Pasal Karet dalam Undang-Undang ITE

20 Februari 2021   14:39 Diperbarui: 20 Februari 2021   14:45 295 9
Tujuan adanya perangkat hukum adalah untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum. Walaupun keadilan itu sendiri relatif dan sangat subyektif, tapi rasa keadilan komunal akan terasa dampaknya dalam masyarakat. Selain itu masyarakat membutuhkan suatu perlindungan secara hukum atas interaksinya dengan sesama manusia.

Akhir2 ini marak dibicarakan oleh media adanya rasa ketidak adilan atas ketentuan2 yang diatur dalam Undang2 Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang2 Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Banyak yang menuduh beberapa pasal2 dalam  UU ITE mengandung "pasal karet" yang bisa ditarik sesuka hati dari pihak yang merasa dirugikan. Demikian juga aparat penegak hukum sekehendak hati bisa menafsirkan arti dari pasal2 UU ITE sehingga bisa menjerat pidana orang2 tertentu yang memang sudah menjadi target.

Polemik "pasal karet" telah membuat Presiden Jokowi Widodo memberikan sinyal agar UU ITE direvisi jika memang implementasinya menimbulkan ketidak adilan.

Gagasan untuk merevisi UU ITE oleh Presiden Jokowi langsung disambut dengan meriah oleh kelompok masyarakat sipil dan sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (Kompas 17 Februari 2021).

Apakah memang perlu merevisi UU ITE karena beberapa pasalnya menimbulkan keresahan yang menciptakan ketidak adilan ditengah masyarakat ?

Sistim Hukum L M Friedman.

Berlakunya suatu aturan hukum dalam mengatur interaksi sesama manusia tidak hanya melibatkan semata2 aturan hukum itu sendiri.

Dalam mencapai tujuan hukum yang berakhir dengan rasa keadilan dan kepastian hukum berarti membicarakan sistim hukum keseluruhan.

Aturan hukum atau Undang2 hanya merupakan salah satu saja dari sistim hukum yang ada.

Menurut Profesor Lawrence Meir Freidman sosiolog hukum dari Stanford University California Amerika Serikat ada tiga unsur pembentuk sistim hukum. Adapun unsur2 tersebut meliputi substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).

Merevisi UU ITE hanya merupakan upaya memperbaiki salah satu dari sistim hukum yaitu unsur substansi hukum.

Dalam kasus UU ITE, apakah memang yang bermasalah tentang substansi hukumnya?

Kalau ternyata dari sistim hukum yang ada ternyata yang bermasalah bukan hanya sekedar substansi hukumnya, maka tindakan merevisi UU ITE akan mengakibatkan perbuatan yang sia2.

Keberhasilan melakukan revisi atas UU ITE sehingga tujuan hukum tentang keadilan dan kepastian hukum akan diperoleh, apabila memang permasalahan terjadi dalam substansi hukum.

Namun apabila ternyata yang bermasalah tidak hanya sekedar unsur substansi hukum saja, namun juga bermasalah atas unsur lain seperti struktur hukum dan atau budaya hukum, maka merevisi UU ITE tidak akan menimbulkan hasil yang diharapkan.

Pasal2 Karet Dalam UU ITE.

Pengamat menilai ada 5 materi dalam UU ITE yang cenderung merupakan pasal karet. Diantaranya hal2 yang mengatur tentang penghapusan informasi, penghinaan/pencemaran nama baik, penyebaran kebencian, ancaman kekerasan di ruang siber dan peran Pemerintah dalam pemutusan akses.

Dari lima materi itu kita pilih 2 materi saja yang sangat sexy dibicarakan oleh masyarakat yaitu materi penghinaan/pencemaran nama baik dan penyebaran kebencian.

Penghinaan/pencemaran nama baik diatur dalam pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 3, sedangkan penyebaran kebencian diatur dalam 28 ayat 2 dan Pasal 45A ayat 2 UU ITE.

Substansi Hukum Penghinaan Dan Ujaran Kebencian Telah Diatur Dalam KUHPidana.

Ketentuan tentang penghinaan/pencemaran nama baik dan penyebaran kebencian bukan hal yang baru secara substansi hukum, karena materi yang sama telah lama diatur dalam KUHPidana.

Penghinaan pada awalnya diatur dalam Pasal 310 KUHPidana yang kemudian juga diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Substansi hukum atas aturan ini tidak jauh berbeda yang menyatakan bahwa penghinaan adalah kejahatan yang dibuat dengan sengaja untuk menyerang kehormatan seseorang.

Perbedaannya hanya terletak cara menyampaikan materi penghinaan sehingga diketahui oleh khalayak umum. Dalam UU ITE penyampaiannya secara elektronik dengan mendistribusikan dan mentransmisikan, sedangkan dalam KUHPidana penyampaiannya secara konvensional.

Selain itu ancaman hukuman dalam UU ITE lebih berat dibandingkan KUHPidana. Dalam UU ITE ancaman hukuman maksimal untuk penghinaan hukuman penjara 6 tahun dan atau denda maksimal Rp1M, sedangkan dalam KHUPidana ancaman hukuman  maksimalnya pidana penjara 9 bulan atau denda Rp4.500,-

Beberapa pengamat berpendapat bahwa materi unsur2 yang ada dalam UU ITE lebih longgar dibandingkan dengan materi yang diatur dalam KUHPidana sehingga aparat penegak hukum dan pelapor (saksi korban) leluasa untuk mengartikan sekehendak artinya (pasal karet).

Penyebaran kebencian yang diatur dalam Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 45A ayat 2 UU ITE juga telah diatur dalam Pasal Pasal 156 - 157 KUHPidana.

Perbedaan perumusan penyebaran kebencian dalam KUHPidana dan UU ITE juga tidak jauh berbeda kecuali dalam KUHPidana unsurnya harus dilakukan "didepan umum" sedangkan dalam UU ITE menyebutkan sebagai "menyebarkan informasi".

Dan sama seperti pasal penghinaan, ancaman hukuman penyebaran kebencian dalam UU ITE lebih berat dibandingkan dengan KUHPidana. Ancaman hukuman maksimal penyebaran kebencian dalam UU ITE dipidana penjara selama 6 tahun dan atau denda Rp1M, sedangkan dalam KUHPidana ancaman maksimalnya 4 tahun penjara atau denda maksimal Rp4.500,-.

Ada juga beberapa pengamat berpendapat bahwa pengertian perumusan "antar golongan (SARA)" yang dijadikan dasar penyebaran kebencian dalam UU ITE terlalu luas pengertiannya. Akibatnya aparat penegak hukum dan saksi korban bisa mengartikan sesukanya (Pasal karet).

Apakah memang demikian, kalau kita amati pasal2 tersebut secara substansi tidak jauh berbeda alias idem kecuali tentang cara penyampaian materi penghinaan, penyebaran kebencian dan sanksi yang lebih berat.

Soal perbedaan perbedaan perumusan tentang "cara penyampaian" kejahatan penghinaan dan penyebaran kebencian antara UU ITE dan KUHPidana bisa dimaklumi karena UU ITE menegaskan, memperjelas unsur pidana sehubungan dengan adanya kemajuan dalam teknologi informasi.

Selama ini ketika UU ITE belum ada dan hanya yang berlaku KUHPidana tidak ada kejadian yang membikin heboh dan merasa bahwa kejahatan penghinaan dan penyebaran kebencian bermasalah alias tidak adil.

Bahkan ketika sebelum lahirnya UU ITE tahun 2008, banyak ahli2 hukum berharap bahwa dengan adanya kemajuan teknologi dibidang informasi sangat berharap ada aturan jelas tentang kejahatan penghinaan dan penyrbaran kebencian yang telah ketinggalan zaman.

Setelah berlakunya UU ITE selama 12 tahun lebih terjadi perubahan keinginan masyarakat dalam memandang dan berlakunya UU ITE, khususnya tentang tindak pidana penghinaan dan penyebaran kebencian.

Apakah telah terjadi perubahan dalam sistim hukum, apanya yang berubah dari unsur sistim hukum dalam mencapai keadilan atas kejahatan penghinaan dan penyebaran kebencian?

Apakah hanya karena substansinya hukum UU ITE yang berkaitan dengan sanksi ancaman hukuman lebih berat dibandingkan dengan aturan atas kejahatan yang sama dalam KUHPidana membuat masyarakat merasa takut ?

Apakah justru yang bermasalah bukan substansi hukumnya, malahan yang bermasalah adanya pergeseran budaya hukum atau struktur hukumnya.

Apakah memang dengan kemerdekaan berpendapat yang sudah sangat liar di media sosial telah menciptakan suatu budaya hukum yang membiarkan seseorang untuk menyerang kehormatan orang lain secara membabi buta ?

Apakah kemudahan untuk menyampaikan pendapat dimuka umum dengan membuat opini di ponsel kemudian ditransmisikan dimedia sosial telah menghilangkan norma untuk menghormati orang lain?

Selain itu adalagi pertanyaan yang berkaitan dengan struktur hukum yang berkaitan dengan dengan aparat hukum.

Apakah aparat hukum sebagai bagian dari struktur hukum dalam suatu sistim hukum telah melaksanakan penegakan hukum secara benar ?

Sebaik apapun suatu substansi hukum (perumusan Undang2) tidak akan bisa menggapai rasa keadilan dan kepastian hukum jika aparat penegak hukum (struktur hukum) tidak punya niat sungguh2 untuk melakukan fungsinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun