Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud Pilihan

Persekusi Ahmadiyah: Teologi Kebenaran Tunggal Dalam Nalar Keilmuan

4 September 2021   15:10 Diperbarui: 4 September 2021   23:00 460 5
Jika menyimak motto Ahmadiyah yang mengusung dua diksi, yaitu; love for all, hatred for none (cinta kasih untuk semua, kebencian tidak untuk siapapun), itu sungguh suatu yang cukup menyejukkan untuk dibaca jika mengingat apa yang mereka yakini selalu menjadi ancaman bagi ketentraman penganut keyakinan lain.

Syarat-syarat dan kriteria sebagai penganut Islam sebenarnya terpenuhi dalam variabel dasar mereka; melaksanakan dua rukun penting, yaitu rukun Iman dan Islam. Hanya saja seperti layaknya ijtihad, manhaj, bahkan mazhab, dalam Islam memang sering terjadi gesekan ketika mengkaji atau memahamimya. Apalagi jika sudah bersinggungan kepada kultus selain Nabi Muhammad, maka tentu saja suatu keyakinan itu akan menjadi makanan empuk persekusi oleh pemegang ijtihad lain.

Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri sekaligus yang dikultuskan oleh jamaah dan anggota Ahmadiyah, sebenarnya juga menjalankan syari'at Islam, yaitu bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan mengakui Muhammad adalah Utusan Allah, menunaikan kewajiban shalat, membaca Al Qur'an, memberikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan juga menunaikan ibadah haji.

Perbedaan mendasarnya seperti yang diakui oleh Fareed Ahmad, Sekjen Nasional Hubungan Masyarakat Jemaah Muslim Ahmadiyah Inggris, organisasi Ahmadiyah Internasional yang berpusat di London, adalah 'anggapan' bahwa Mirza Ghulam Ahmad merupakan nabi penerus dan penjelmaan Imam Mahdi. Bagi kalangan Islam mainstream Imam Mahdi sendiri masih ditunggu kedatangannya sebagai penanda akhir zaman, bukan sekarang apalagi sudah wafat.

Hal mendasar kedua, adanya pemahaman yang keliru mengenai kumpulan tulisan yang dibukukan Mirza Ghulam Ahmad oleh penganutnya setelah wafat yang dinamakan Tadhkirah. Padahal Juru bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiandra, menepis pandangan bahwa Tadhkirah adalah kitab suci bagi Ahmadiyah, karena mereka setiap hari membaca Al-Qur'an sebagai panduan.

Dari seluruh proses rumit tentang keyakinan, manhaj, dan ijtihad tiap individu muslim dalam memahami konteks di atas, sebenarnya semua adalah masalah usang yang selalu diulangi secara terus menerus. Apa sih itu? Kedewasaan menyikapi perbedaan. Yaitu ketika suatu tindakan anarkis dilegalisasi dan dilindungi oleh negara berdasarkan pertimbangan menjaga keamanan dan ketertiban arus utama (mainstream).

Legalisasi itu tercantum dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Ahmadiyah pada tahun 1980. Kemudian diperkuat dengan fatwa lagi pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat, menyesatkan dan sudah keluar dari Islam.

Gelombang protes mendukung fatwa MUI yang menuntut agar Ahmadiyah dibubarkan pun semakin menguat di mana-mana, meskipun gerakan mereka itu sah sebagai organisasi. Basis-basis Ahmadiyah marak menjadi sasaran, termasuk rumah pribadi, tempat ibadah dan bahkan banyak pula jamaah Ahmadiyah yang mendapat serangan fisik. Imbas dari fatwa MUI itulah yang dituding memicu 'kekerasan' atas nama agama seperti yang baru saja terjadi di desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalbar, Jum'at (3/9/2021).

Dari segi platform dasar dalam bernegara, Ahmadiyah sebenarnya sangat bertolak belakang dengan dua organisasi sebelumnya yang dibubarkan pemerintah, yaitu HTI dan FPI yang cenderung ingin mendirikan dan menjalankan syari'at Islam, bahkan ingin mendirikan kekhalifahan. Ahmadiyah justru anti terorisme. Beranggapan bahwa jihad itu bukan dengan kekerasan atau perebutan kekuasaan, melainkan dengan dakwah dan pena, serta gerakan kemanusiaan yang realitasnya memang mereka laksanakan di seluruh dunia.

Lalu kenapa masyarakat muslim mudah terpantik melakukan kekerasan? Pertama, adalah faktor psikologi dalam ajaran Islam sendiri yang dalam konteks kekinian sebenarnya sudah tidak menjadi isu menarik, yaitu pemahaman mengenai teologi kebenaran tunggal yang menganggap perbedaan sebagai sesuatu yang tidak lahiriah. Kebenaran adalah apa yang saya dan kami yakini, di luar itu salah dan tidak boleh ada.

Kedua, adalah mayoritas. Karena mayoritas itu pasti benar dan legal setiap tindakannya. Ketiga, legalisasi dari aparatur sendiri yang di sisi penegakkan hukumnya dalam persoalan melindungi ijtihad, keyakinan, dan kebebasan umat menjalankan ritual keagamaan, masih sangat lemah dan selalu gagal di setiap periode kekuasaan. Utamanya karena selalu berkompromi dan kalah oleh arus utama yang mayoritas tadi (kecuali ketika Gus Dur berkuasa).

Ketika pertimbangan keamanan mayoritas menjadi variabel penting, tak jarang agama dan keyakinan lain yang secara UU dan hukum negara jelas-jelas diakui pun, hanya karena mereka minoritas tetap saja dipersulit. Baik itu ketika mereka mau mendirikan tempat ibadah, atau sekedar menjalankan ritual ibadah satu minggu bahkan satu bulan sekali. Sementara, si mayoritas lima kali dalam sehari lewat menara tertinggi mengamplifikasi volume TOA-nya, memekakkan telinga dari delapan penjuru mata angin sekeras mungkin, si minoritas masih tetap bisa calm down dan menerima.

Struktur penanganan masalah hukum terhadap mayoritas seperti ini sebenarnya terjadi di mana-mana. Karena jumlahnya banyak, mereka legal melakukan suatu tindakan yang secara hukum jelas-jelas salah. Artinya suatu kesalahan dibalik menjadi kebenaran karena alasan jumlah, bersamaan momennya ketika persoalan private selalu ditarik ke ruang publik.

Disinilah problemnya, kenapa kajian agama itu memiliki banyak perbedaan tafsir sementara kajian sains tidak. Acuan kajian sains menggunakan teori distribusi normal Gauss yang memiliki dua acuan; yakni mean (nilai rata-rata) dan standar deviasi atau simpangan baku, sehingga variabel biasnya sangat minim, tafsir berbasis keilmuannya jelas, dan jauh dari konflik.

Dua acuan dalam teori distribusi normal tersebut tidak bisa dipakai dalam kajian memahami regulasi agama. Karena agama memastikan nilai rata-rata dan deviasi itu tidak ada. Format yang dipakai hanya menggunakan dua klausul yaitu benar dan salah. Ketika menyikapi perbedaan, sifatnya langsung kaku, lalu menjustifikasi. Tidak ada ruang untuk pendapat lain, harus diikuti dan wajib ditegakkan secara berjama'ah tanpa melakukan observasi sama sekali.

Inilah yang menyebabkan kita itu banyak tapi seperti buih.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun