Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

"Aku Temukan Lagi Mata Air Itu"

19 Oktober 2020   01:18 Diperbarui: 19 Oktober 2020   01:49 261 58
Ada banyak hal tak terduga, seakan-akan datang, lantas pergi sekonyong-konyong, setiba-tiba, melenyap, menyirna. Lalu sepi, sunyi senyap, ngawang tak berawan, tak ada angan-angan, seperti baru saja, dilahirkan, waktu merubah cuaca sekilas secepat berkedip.

Sekedip pun belum mampu, membasuh kaki ibu, sempurna merawat, ananda, meski berkali-kali membantah tak mau tidur siang, berjuta kali alasan, karena ananda lebih memilih main kelereng, lebih memilih mengejar layang-layang, berlarian kian kemari main petak umpet sepulang sekolah.

Untuk ayah, tercinta, selalu menyempatkan perhatian meski sesibuk apapun, di ruang-ruang persaingan zaman, kesabaran, ya, kesabaran, membimbing ananda, menyelesaikan pekerjaan rumah dari sekolah, ngobrol tentang pilihan-pilihan, kalau kelak lulus nanti, ingin seperti apa, mau kemana.

Belum sempat menata pranata hati, seterang kedua orang tua ananda, menyalakan pelita di hati, gaib semesta meminta pulang keduanya, searah urutan jarum jam kemudian, satu persatu, cahaya, menjemput kedua orang tua terkasih di hati.

Tersergap rasa-gelap gulita, terasa pelita meredup, tak mampu rasa, mencari mata air telah sublim menyatu dengan cahaya ilahi. Hanya doa tanpa batas, asa hilang di ufuk kabut, ikhlas bertabur khusyuk, dalam sujud sesal-ananda, belum berkedip, ayah-bunda sekejap berpulang, sesingkat tak terasa telah bertumbuh ananda di usia kini.

Dalam poros zaman, seperti masuk di gilingan kopi, terbolak-balik, tersungkur-sungkur, jumpalitan terjangan badai, hingga tersangkut di genteng rumah para sahabat Kompasiana, ramai sekali keriangan di bawah atap ini, siapakah mereka, dengan tata laku tertib kegembiraan kisah-kisah tertulis. Pada 27 Desember 2012, hamba memberanikan diri mengetuk pintu rumah semarak taman bunga bermekaran.

"Tok! Tok!"

"Ya! Silakan masuk."

Tak ada tulisan 'awas anjing galak', tak ada harimau mengaum, bergabunglah hamba di Rumah Cinta Kompasiana, mengalir sapaan, mengalir kegembiraan. Mengalir pula deraan badai hidup personal, hamba terguncang-guncang, tertatih-tatih, beberapa kali menghilang dari K, muncul-hilang.

Kembali menata hati "Mohon maaf ya Admin Kompasiana, kalau beberapa waktu lalu, hamba kurang berkanan di hati Admin", salam kebaikan selalu.

Selang beberapa bulan hamba menjadi keluarga di Rumah Cinta Kompasiana, di antara tulisan-tulisan berkebyaran, hamba melihat sosok sederhana, Pak Tjiptadinata Effendi, singkat cerita, tak lekang oleh waktu, beragam artikel berbudi terus mengalir dari beliau di Kompasiana.

Pada waktu kemudian, hamba tak tahan lagi untuk tidak memanggilnya 'Ayah', hamba beranikan diri menyapa beliau dengan 'Ayah', demikian pula dengan Bunda Rose, hamba berlega hati, dari jawaban beliau, ketika, kata itu, dituliskan oleh, Ayah Tjip dan Bunda Rose, "Ananda Taufan..."

Hamba terbang kesurga 'mata air telah hilang hamba temukan lagi', terima kasih kepada Ayah Tjip dan Bunda Rose, inilah hamba sebagaimana adanya, dengan segala kekurangan serta keterbatasan hamba. Terima kasih Tuhan, hamba punya Ayah dan Ibu lagi. Sungkem.


Jakarta Indonesia, Oktober 19, 2020

Salam Sehat Masker Jangan Kendor

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun