Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Rumah Tua Peninggalan Sang kakek

1 Januari 2014   08:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:17 79 0
JAKARTA-GEMPOL, Rumah adalah tempat kita berteduh dari panas dan hujan. Kalau Anda tidak punya rumah maka Anda akan kepanasan dan kehujanan. Rumah adalah istana kita yang ada dimuka bumi ini, susah dan senang akan dihadapi oleh setiap orang.

Berdasarkan data-data, ternyata orang tuaku tidak punya rumah sendiri. Sayang sekali orang tuaku tidak sanggup membeli maupun membangun rumah sendiri. Sampai dengan terjadinya kapal KMP Gurita tenggelam bersama kedua orang tuaku pada tanggal 19 Januari 1996. Memang orang tuaku benar-benar tidak punya rumah sama sekali.

Diriku lahir di Sabang ACEH, di rumah kakekku yang bernama Teungku (Tgk) H. Muhammad Abu Juned Bitay. Kami anak cucunya biasa memanggil dengan sebutan Abu Juned atau Kek Abu.

Kakekku adalah salah satu Ulama di kota Sabang ACEH cucu dari ahli waris utama Teungku Di Bitay (Muthalib Ghazi bin Musthafa Ghazi)/Teungku Di Bitai. Dahulu kakekku jalan kaki keliling Pulau Weh Sabang, untuk menyiarkan Agama Islam. Mirip diriku yang sering juga jalan kaki. Ini berarti cucu ikut kakeknya.

Di rumah kakekku inilah diriku cuma berteduh selama 3 bulan lamanya. Kemudian diriku terbang ke Jakarta bersama ibuku untuk menyusul bapakku yang sedang belajar di IIP (Institute Ilmu Pemerintahan) daerah Cilandak, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Saat lahir diriku dalam posisi "Anak Yatim" karena bapakku tidak berada di tempat hanya ada kakekku.

Di Kota Jakarta ini, orang tuaku tinggal di rumah sederhana yaitu rumah bedengan yang terbuat dari seng. Pada tahun 1979, diriku kembali ke Sabang Aceh dan tinggal di rumah kakekku Tgk.H.M. Abu Juned Bitay. Kemudian orang tuaku pindah ke rumah dinas Pemda Sabang pada akhir tahun 1979.

Berdasarkan data terbaru, ternyata kami kembali ke Sabang pada akhir Tahun 1977. Dari arsip dapat diketahui pada awal Januari 1978, orang tuaku ikut penataran di Banda Aceh, dan dari hasil foto keluarga pada lebaran tahun 1978 , kami sekeluarga telah berada di Sabang.

Walaupun bapakku tinggal dirumah dinas, akan tetapi diriku tinggal di rumah kakek Abu Juned Bitay. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja seperti pulang sekolah dan ada keperluan lainnya baru pulang sebentar ke rumah dinas.

Kemudian pada waktu sore hari diriku kembali ke rumah kakek untuk mengaji, sekolah dan tidur di sana. Jarak rumah dan SD No.6 (Sekolah kolonial Belanda) hanya 100 meter.

Sebelum kakekku Abu Juned meninggal dunia maka kakekku berwasiat bahwa rumah kakekku yang ada di Sabang diberikan kepada ibuku dan adik perempuan ibuku.

Sedangkan rumah warisan Teungku Di Bitay yang terletak di desa Bitay Kota Banda Aceh yang menjadi warisan jatuh kepada kakekku, diberikan kepada anak perempuan yang pertama dan untuk nenekku.

Di tanah kediaman Tgk. Di Bitay sekarang ini dalam satu pagar ada 3 rumah dan ada lambang bulat berbentuk bulan bintang lambang negara Turki.

Di rumah kakekku inilah sejak dahulu kakekku masih ada di Sabang (1950-1990) hingga sekarang diadakan pengajian atau TPQ ABU JUNED BITAY.

Bagi diriku TPQ ini adalah singkatan dari Tempat Pengajaran Alquran walaupun sejak tahun 1990-an orang-orang menyebutkan bahwa TPQ itu Taman Pendidikan Alquran.

Dahulu diriku lahir pada kamar belakang rumah kakekku dan kakekku sebelum meninggal dunia sempat juga tinggal di kamar tempat diriku dilahirkan (1980-1990).

Sekarang diriku tidur kembali di kamar tempat kakekku tinggal dahulu yaitu kamar tempat di mana diriku dilahirkan oleh Ibuku.

Dari hasil riset/penelitian kembali arsip-arsip lama peninggalan kekekku Abu Juned Bitay pada hari Rabu, Sabang 14 Agustus 2013, data-data rumah kakekku adalah:

SURAT PERJANJIAN SEWA BELI; No: 164/C/PRN/172/1983; Senin,17 Oktober 1983;
Ir.H.Abdul Muluk; kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Istimewa Aceh; AN Menteri PU dengan Surat Kuasa No.831/KPT/C.b.5/1983; tanggal 26/7/1983; sebagai PIHAK KESATU.

Tgk. Djoened Bitai; Banda Aceh, 20 April 1898; Jalan Cempaka No.3; sebagai PIHAK KEDUA

Berdasarkan Undang-undang Nomor 72 tahun 1957 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1974 dan Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 1940, kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat untuk mengadakan perjanjian sewa-beli sebuah rumah Negeri.

(Keppres No.40 tahun 1940; Menurut diriku pasti salah ketik karena Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945 dan Kita mempunyai Presiden pada 18 Agustus 1945, mungkin tahun 1980).

Nomor : AA.1162; Kelas :IV; Luas Lantai :159 m2; Luas tanah : 772 M2; Harga rumah Rp 2.649.500; ganti rugi tanah : Rp 1.351.000; Total : Rp 4.000.500.(Empat juta lima ratus rupiah).

Pengukuran tanah, Sabang 1-11-1988, Pembelian rumah pada tahun 1989, pajak bumi :772 M2; bangunan : 229 M2; Serifikat hak : milik No.289 Tahun 1989;
TAHUN DIBANGUN perkiraan 1930.

Catatan: luas rumah lama ;159 M2; luas tempat mengaji 70 M2 (10.75 X 6.5 M).
Di sertifikat tertulis luas 851 M2.

Pasca pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda (27 Desember1949), kemudian Kakekku tinggal di Kota Sabang sejak tahun 1950.

Rumah kakekku adalah rumah peninggalan kolonial Belanda dan sempat juga diduduki oleh Jepang (1942-1945).

Rumah kakekku sekarang terletak pada situs sejarah kolonial Belanda yaitu Woon Complex Sabang Maatschappij (Perumahaan Sabang Maskapai 1909). Kakekku tinggal di sini sejak tahun 1950, Beliau pindah dari Bitay Banda Aceh ke Sabang.

Sebagai keluarga besar Abu Juned, kalau dikumpulkan lebih dari 100 orang yang terdiri atas anak, cucu, cicit. Mereka berhak tinggal dan singgah dirumah kakekku ini.

Bagi diriku rumah peninggalan kakekku ini tidak boleh dijual atau digadaikan. Apalagi dirumah ini masih ada pengajian TPQ Abu Juned Bitay. Rumah dan tanah ini Aku jadikan sebagai rumah tua milik bersama atau wakaf keluarga.

Rumah dan tanahnya tidak boleh diganggu-gugat atau diperkarakan, dosa besar. Semoga pahalanya bisa tetap mengalir hingga akhir zaman kepada kakekku, Teungku H.Muhammad Abu Juned Bitay.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun