Bagi Anthony Sam pria berkacamata, gang-gang itu mirip seperti terowongan keluar masuk tikus-tikus mencit.
Dalam satu hari penuh, matanya hanya memotret wajah insan-insan itu saja.
Di Desa Ksatria, kamu hanya akan menemukan satu bangunan minimarket, satu bangunan pom bensin, satu bangunan sekolah dan satu bangunan toko yang menyatu dengan rumah, dan itu adalah rumah singgah Anthony Sam bersama keluarganya.
Anthony sangat menyukai jus, apalagi bila memakan buahnya secra langsung seperti wortel, pir, jambu merah.
Di tempatnya tinggal, hanya memiliki 25 kepala keluarga. Suara ingar bingar yang terdengar, dari tawa bahagia anak-anak sekolah dasar dan balita.
Setiap harinya, Anthony Sam membantu Ibunya yang bernama Cornelia untuk mengurus bisnis turun temurun dari mendiang sang kakek yang kini masih bisa beroperasi dengan baik seperti mesin tik yang lahir di tahun 1917 an namun akan lahir kembali  ketika cucunya nanti akan menjelang kelulusan sekolah menengah atas, juga mesin hitung olivetti barang peninggalan dari mendiang sang kakek yang merupakan sebelumnya sebagai seorang kerani di kantor pos, beberapa pekerjaannya meliputi, mencatat, mengidentifikasi, dan mengurutkan surat dan paket yang masuk dan keluar.
Cornelia masih tetap memilih melanjutkan usaha fotokopi, cetak foto, dan menjual alat-alat tulis kantor meski sekarang lebih menggunakan mesin-mesin yang lebih modern untuk efektifitas pekerjaan dan meringkas waktu. Tak banyak orang yang membutuhkan jasanya, karena mayoritas warga di tempatnya tinggal banyak sudah yang memiliki alat printer yang pintar sendiri di rumah, dan beberapa lebih memilih membeli alat-alat tulis kantor dan sekolah untuk anak-anaknya.
Jika teman-teman satu kelas laki-laki Anthony Sam lebih suka menjadi pemulung ketika di waktu jam piket kelas, dia lebih memilih untuk selalu sedia di dalam kotak pensilnya dua buah bolpoin, potlot, penghapus, rautan, penggaris, dan juga Tipe-X, dan selotip.
Laki-laki yang langka, yang lebih suka membawa bekal dari rumah ketimbang harus beli jajan di kantin meski sudah duduk di bangku SMA kelas tiga. Sebenarnya soal posisi duduk di kelas, Anthony lebih suka duduk di bangku paling belakang sama seperti keinginan teman laki-lakinya satu kelas. Karena dia minus dan harus memakai kacamata, dia harus duduk di bangku paling depan. Anehnya, saat perempuan yang baru saja berdiri di hadapannya yang begitu dekat sekali, tak terlihat dengan jelas, terasa kabur bahkan membuat kepalanya terasa pening, meski sudah berulang kali dia lepas, pakai kacamata, dan mengelapnya. Padahal, wajahnya cantik, oriental, lesung di pipinya pun tak tampak.
Dan, untuk kali pertamanya setelah tiga tahun dia duduk di bangku depan selalu. Akhirnya, dia bersuara untuk meminta pada sang guru agar dirinya duduk di bangku belakang.
Sontak hal itu membuat teman-teman satu kelas menatapnya dengan aneh, dan sinis.
Dan perempuan yang masih menunjukkan kelebihannya di depan itu, merasa terganggu dan tak nyaman dengan sikap Anthony.
"Dasar aneh! Baru kali ini ada laki-laki yang tidak ingin melihat wajahku dari jarak dekat! Apa dia pikir aku ini setan?" cetus Livia, murid perempuan baru di kelas Bahasa sambil memanyunkan bibirnya, "Lagi pula, siapa juga yang akan terpikat. Dia laki-laki yang terlihat begitu membosankan!"
Anthony tersentak, tubuhnya seakan tengah terdorong hebat oleh badai besar di hadapannya usai melihat sosok kabur itu dari kacamatanya, hingga membuat Cornelia di sampingnya itu terkejut.
"Anthony! Apa ada yang salah?"
Anthony mengangguk cepat, lalu menunjuk ke arah jam satu. Sebuah mobil yang terparkir di halaman rumah yang baru beberapa hari telah kosong oleh penghuni pemilik asli rumah itu.
Cornelia manggut-manggut. "Oh, mereka tetangga baru kita. Dan tadi pagi ibu sudah mengunjunginya!" Mata Anthony melotot dan mulutnya mengaga lebar.
"Dan mereka dari keluarga yang baik-baik! Wanita yang tinggal di rumah itu juga bilang kalau anak perempuannya bersekolah di SMA Satu Bubung yah. Apa dia teman satu kelas kamu?" Anthony langsung mengatupkan bibir dan mengangguk pelan.
Menjelang matahari terbenam, menyambut langit malam Cornelia mengajak sang putra semata wayangnya itu ke sebuah tempat, yang mana hanya mendiang kakek dan Cornelia lah yang mengetahui ruang itu, tepat di sebelah mesin foto kopi ada sebuah meja laci berukuran kecil terbuat dari kayu jati, hanya dengan menggeser posisi nya setitik, tiba-tiba muncul sebuah pintu yang terbuka perlahan. Wajah Anthony mendecak kagum. Tiga bulan menjelang hari kelulusan putranya, dan dia tak ingin membuang-buang waktu lagi.
"Anthony, ini mesin tik milik mendiang kakekmu. Yang kakekmu dapat ketika masih menjadi seorang Kerani," Mesin tik berwarna biru elektrik, dengan bagian tombol-tombol berwarna hitam pekat, dan bentuknya yang ramping, "Katanya, mesin tik ini hanya bisa digunakan kalau kamu sudah mantap untuk mencari cinta, lewat kata-kata yang dikerjakan oleh mesin tik ini yang bahkan masih tersimpan dalam hati kamu, dan itu pun belum sempat kamu utarakan!"
Anthony mengerutkan keningnya, juga memicingkan mata.
"Apa yang tampak jelas di mata kamu dan melewati pandangan kamu belum jadi takdirmu, akan tetapi yang tak begitu jelas dan belum sanggup melewati pandangan mata kamu, bisa jadi dia adalah takdirmu!" ucap Cornelia sambil menyerahkan mesin tik itu pada Anthony.
"Permisi! Halo..! Apa ada orang?" teriak seseorang di luar toko. Anthony keluar sambil meletakkan mesin tik nya di atas meja kasir.
Seorang wanita berambut ikal sebahu, berwarna hitam berkilau membuat mata Anthony sakit.
"Hai! Apa ini benar rumah Ibu Cornelia?" tanya Livia sambil menyodorkan sekotak bingkisan pada Anthony yang masih berusaha untuk membuka matanya, yang seakan-akan telah dilumuri lem perekat, "Jadi kita selain menjadi teman satu kelas, juga tetanggan dong?"
"Wow! Itu mesin tik yang sangat indah!" seru Livia sambil menunjuk ke arah mesin tik biru elektrik, dia mencoba masuk dengan mendorong etalase kaca itu agar sedikit membuka cela untuk dirinya masuk ke dalam sana. Hal itu tentu membuat Anthony geleng-geleng kepala, Livia yang berada di dekat mesin tik itu terus mendecak kagum, "Apa boleh aku menyentuhnya?"
"Tentu saja boleh!" jawab Anthony bersemangat, dan mengajak Livia untuk duduk di kursi panjang kayu yang memang ada di dekat mesin fotokopi, "Kamu rupanya cinta itu!"
Kedua alis Livia menyentak bersama-sama.
"Ibuku bilang, apa yang tampak jelas di mata kamu dan melewati pandangan kamu belum jadi takdirmu, akan tetapi yang tak begitu jelas dan belum sanggup melewati pandangan mata kamu, bisa jadi dia adalah takdirmu!" jelas Anthony membuat Livia terpingkal, "Mau aku buatkan puisi?" Livia kali ini mengangguk cepat. Jemari-jemari tangannya masih mematung, lalu terdengar suara berderit-derit dari secarik kertas yang muncul dari balik mesin tik yang telah tertulis,
Aku ingin menjadi matamu, tuk bisa melihat apa yang dirimu senangi
Aku ingin menjadi telingamu, tuk bisa mendengar apa yang selalu kau rapal.
Aku ingin menjadi bibirmu, tuk bisa merasakan manisnya kata rindu untuk ku.
"Sungguh ajaib!" ucap Livia bersinar-sinar, "Bagaimana kamu melakukannya? Tolong ajari aku juga!"
"Maaf, apa yang diberikan oleh mesin tik ini adalah kemurnian dari dalam hati. Hatimu masih banyak ragu, dan itu enggak akan mungkin bisa terjadi!" jawab Anthony beranjak sambil menggendong mesin tik nya dan pamit untuk melangkah pergi dari hadapan Livia.
Di halaman rumah, di hari minggu menyambut merekahnya matahari terbit. Livia duduk manis di atas rumput-rumput yang masih beraroma bau basah embun pagi dengan kanvas di pangkuannya, kuas di genggaman tangannya. Kedua matanya kini dapat melihat jelas, setelah berkali-kali terlihat kabur.
"Tuh kan, apa aku bilang. Bukan kacamata ku yang kurang bersih. Tetapi memang wanita lah yang sulit dimengerti, saat begitu dekat di mataku berasa sulit sekali untuk dipandangi, bahkan mataku terasa begitu sakit melihatnya. Wanita memang hanya bikin pusing, sampai ke masalah hati!"