Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cerpen | Sejarah dan Laki-laki yang Gagal

18 Oktober 2019   19:00 Diperbarui: 18 Oktober 2019   19:22 22 2
Laki-laki tua itu usianya kurang lebih tuju puluh tahun, sedari tadi saya mengamatinya. Pandangan tetap menyoroti saya dengan tatapan riang juga senyum di wajahnya. Dengan singgap saya dekati dia yang suda lunglai dalam berjalan.

Sekitar satu meter, dia usaha bergerak cepat mendekatiku. Senyumnya lebih melebar seakan ada hal yang ingin dia sampaikan. Dan benar saja.

"Sungguh aku tak mau menaru harap sekian lama, namun saat ini aku harus menaru harap pada kalian. Sebab aku telah gagal"

Kata-katanya menyusup masuk di kepala, rasanya membuat saya bingung,seorang tua yang tak saya kenal dan baru saja bertemu bisa berucap demikian.

"Harapan apa kek, kenapa sampai mencaplok diri telah gagal" tanyaku dengan singkat.

"Kakek buyutku berontak untuk merdeka, dan mereka telah memerdekakan bangsa. Aku yang diwasiati merawat dan menjaganya sudah berhasil dan sampai kini bangsa tetap utuh. Namun ada hal yang kurasa gagal nak" katanya dengan suara paru serasa ingin menangis.

Aku kaget, rupanya beliau adalah pewaris titah para pejuang, beliau adala pustaka hidup dan lahir dari rahim dan dibesarkan dari tangan penjuang bangsa.

"Apa gerangan sampai kek sebut gagal?"

"Aku gagal mewujudkan kesejahteraan, gagal wujudkan keadalian dan pemerataan, gagal menjaga moral bangsa"

Sesaat dia menyerang dan mendekap saya dengan pekukan hangat dan ciuman. Pungungku seara hangat, ya dia menangisi semua kegagalanya.

"Kalian harus mewujudkannya, harapku pada kalian yang muda-muda. Sebab yang tua terlalu asik beradu hidup di parlemen"

Sesaat melepaskan tubuh saya, dengan air mata yang di seka di pipihnya.

"Apa saya sanggup melakukan tugas itu dengan baik, ketakutanku adalah wasiat yang tak bisa saya laksanaka" ujarku dalam diam

Sebelum beliau lalu dari pandangnya saya, dia kemudian mengecup kening dan menepuk pundak seraya beeujar "jaga dan rawat, keasilan dan kesejahteraan adalah sebuah keharusan"

Aku mengangguk siap menyalami tanganya dan menciumnya. Dan setelah menjauh sekitar satu meter, dia membalikkan badannya dan berujar.

"Aku cucu kerabat Dowes Doker, seorang belanda yang sama-sama berjuang dengan pribumi" kemudian lalau

Aku tersemum, "Dowes Doker, dengan nama pena Multatuli pada buku Marx Havelar, seorang belanda ulung namun berjiwa nusantara, ruapanya jiwa beliau belum juga mati" pikirku dalam hati"

Ternate, 18 Oktober 2019

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun