Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Emak-Emak dan Film Tilik

22 Agustus 2020   15:25 Diperbarui: 22 Agustus 2020   15:46 146 6
Hati kecil saya, kalau melihat film atau membaca cerita selalu ingin tokoh baik yang benar atau sebagai pemenang dalam suatu pertentangan. Dalam film ini saya berharap, tokoh Dian, yang dari awal sudah direndahkan, akan menjadi pemenang dan pertentangan yang digambarkan melalui perbedaan pendapat antara bu Tejo dan Mbak Tri. Tapi sayang, sampai akhir cerita saya tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan saya itu. Dialog singkat antara Dian dan seorang laki-laki tua di dalam mobil itu, menurut saya, masih membuat akhir cerita yang menggantung. Bisa jadi sutradara memang se gaja membuatnya begitu. Memaksa penonton menyelesaikannya sendiri.


Setiap orang boleh menilai apa saja yang ditontonnya. Ada yang menilai negatif film ini. Menguliti isi ceritanya. Mengatakan film ini tidak mendidik karena menyajikan gossip berkepanjangan, dari awal hingga akhir. Ada pula yang menilai film ini bagus karena menggambarkan kehidupan nyata masyarakat kita. Setiap orang memang memiliki persepsi yang berbeda. Semua itu dipengaruhi oleh latar belakang si pembuat statemen saja.

Yang jelas, pasti ada pesan moral yang ingin disampaikan oleh pembuat cerita. Pesan moral itulah yang akan ditangkap oleh penikmatnya. Sekalipun begitu karena pesan itu tersirat, tidak gamblang, maka bisa jadi pesan yang diterima oleh penonton tidak sama dengan pesan moral yang ingin disampaikan oleh pembuat cerita. Ya, tidak apa-apa juga sih. Tidak salah juga bagisi pembuat film dan bagi penontonnya.

Dalam waktu singkat film ini viral. Saat ini, saya lihat di Youtube sudah ditonton lebih dari 5 juta kali. Film ini dirilis pertamakali tahun 2018 (sumber: kompas.com). Mungkin karena mulai ditayangkan di media sosial belakangan ini, maka viralnyapun akhir-akhir ini. Viralnya film ini tidak terlepas dari kontennya yang mengusung kaum perempuan. Kaum emak, kata orang. Emak dengan segala daya pesonanya. Emak yang dibully karena tidak fokus. Emak yang dibully karena suka menggosip (padahal yang membully juga emak sang penggosip). Tetapi emak pula yang tak bisa digantikan posisinya.

Saya, yang juga emak, melihat film ini ya biasa saja. Bagi saya, film, novel atau sejenisnya adalah cara seseorang untuk menyampaikan sesuatu. Bisa jadi mengkritik kondisi masyarakat. Maka sebagai bagian dari masyarakat, saya  legowo menerimanya. Bahwa perempuan adalah ahli menggibah, saya pun tidak memungkirinya. Kalau melakukannya sendiri, saya nyaman-nyaman saja. Tetapi ketika melihat di film ini saya memprotes. Ternyata aksi menggibah itu menjijikkan. Maka sayapun berpikir, jadi kalau saya menggibah itu ya seperti itu. Menjijikkan. Wah memalukan ternyata. Semoga ya Allah, kalau saya pas niat menggibah saya ingat film ini, ingat bu Tejo dan teman-temannya dan itu membuat saya bisa membungkan mulut sendiri. Semoga!


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun