Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Ketika Hampir 90% Masyarakat Mempunyai Pandangan Bias pada Kaum Wanita

7 Maret 2020   13:00 Diperbarui: 7 Maret 2020   12:58 127 10
Baru-baru ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan laporan berdasar pada sebuah survei dan studi bahwa kaum pria mempunyai pandangan bias kepada kaum wanita. Hampir 90 % kaum pria yang masih berpikir bias terhadap kuam wanita (CNN.com 7/3/2020).

Bahkan survei ini menyatakan kalau tidak ada negara di dunia yang menunjukkan kesetaraan gender. Salah satu sebab dari ketidaksetaraan ini adalah kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Kepercayaan ini memberikan dampak negatif pada hak dan kesetaraan kaum wanita.

Survei ini melibatkan pandangan sebagian besar orang pada peran wanita dalam kehidupan berpolitik. Survey menunjukkan kalau setengah dari populasi di dunia, entah itu kaum pria maupun wanita yang menilai kalau kaum pria lebih baik sebagai pemimpin politik daripada kaum wanita (BBC.com 6/3.2020).

Contohnya, di Amerika Serikat. 39% masyarakat Amerika Serikat masih percaya kalau kaum pria masih lebih menjadi pemimpin daripada kaum wanita. Di China, persentasi lebih tinggi di mana 55% masyarakat berpikir kalau kaum laki-laki lebih cocok sebagai pemimpin politik.

Di New Zealand di mana dipimpin oleh seorang perempuan, hanya 27% yang menilai kaum pria lebih baik dari kaum perempuan. Ini bisa berarti kalau peran Jacinda Ardern sebagai perdana menteri New Zealand berdampak pada negara tersebut.  

Pikiran bias ini berdampak pada karir politik kaum perempuan. Di tahun 2014, ada 15 kaum perempuan yang menjadi pemimpin politik. Setelah lima tahun berlalu, hanya ada 10 perempuan yang menempati posisi pemimpin pemerintahan.

Sementara itu, dari sektor bisnis lebih dari 40 % yang percaya kalau kaum pria lebih baik sebagai pemimpin bisnis. Hal ini juga berdampak pada pemberian gaji kepada kaum perempuan.
Bahkan 50% kaum pria yakin kalau kaum pria pantas mendapat gaji yang lebih baik dari kaum perempuan.

Survey ni dilakukan di 75 negara yang terdiri dari 80% dari populasi di dunia. Sebuah survey acap kali mengandung kelebihan dan kekurangannya. Meski demikian, survey yang dilaporkan oleh PBB ini mesti menjadi bahan evaluasi untuk kehidupan bersama kita.  

Betapa tidak, perkembangan zaman kian maju. Perkembanan zaman ini mesti dibarengi dengan perlakuan yang bermartabat dan kesetaraan gender.  

Pandangan biasa dan ketidaksetaraan gender mungkin saja terjadi di negara kita. Hal ini bisa dilihat lewat peran kaum pria di arena politik yang masih dominan.

Salah satu sebab dari dominasi kaum pria ini karena budaya yang dianuti oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Masih banyak konteks sosial yang menghidupi budaya patriarkat, di mana kaum pria mendapat tempat dominan daripada kaum perempuan.

Budaya patriarakat secara tidak langsung membentuk pola pikir masyarakat. Budaya ini mengkotakkan pria dan wanita pada kotak-kotak tertentu.

Seperti misal, peran seorang laki-laki di rumah berbeda dengan peran seorang perempuan. Bahkan tidak jarang terjadi kalau kaum laki-laki akan berada di ruang tamu, sementara kaum wanita mesti berada di dapur. Kaum pria yang mesti bekerja, sementara kaum wanita mesti tinggal di rumah dan mengurus anak-anak.

Pengkotak-kotakan seperti ini berdampak pada kontestasi politik. Kaum perempuan belum terlalu mendapat tempat pada kontestasi politik seperti Pilkada. Yang muncul biasanya kaum pria yang cenderung memilih sesama kaum pria sebagai tandemnya.

Selain itu, kuota 30% keterwakilan kaum perempuan dalam kontestasi politik memang patut dilihat secara positif. Ini artinya ada geliat dari negara untuk melihat dan menyadari peran kaum perempuan.

Tetapi kuato ini sendiri masih membahasakan ketidaksetaraan. Dalam mana, kaum pria masih mempunyai kuota yang lebih besar 70% sementara kaum perempuan hanya 30%.

Padahal kalau mau berbicara tentang kesetaraan, kuotanya juga mesti sama, yakni 50% antara kaum wanita dan pria. Bagaimana pun juga, untuk konteks Indonesia kuota 30% ini sudah membahasakan kemajuan dalam melihat peran kaum perempuan dalam ranah politik.

Setia Ayu Nengsi (detik.com 2/2/2019) masih melihat kalau kuota 30% belum bisa membahasakan tentang partisipasi politik kaum perempuan. Bisa saja hal itu hanyalah angka yang tidak dibuktikan dengan partisipasi riil kaum perempuan dalam konteks sosial.

Menurut Setia Ayu Nengsi, salah satu cara untuk meningkatkan partisipasi kaum perempuan adalah dengan memberikan peran penting bagi kaum perempuan di pemerintahan. Dengan peran itu, mereka bisa menunjukkan partisipasi mereka laiknya kaum pria.

Pemberian peran pada kaum perempuan merupakan salah satu cara melawan ketidaksetaraan dan menghancurkan pikiran bias terhadapa kaum perempuan.

Tentunya, hal ini membutuhkan waktu terlebih lagi berhadapan dengan kepercayaan dan budaya yang memungkinkan pandangan bias dan sikap diskriminatif terhadap kaum perempuan.

Hal yang paling penting dan utama adalah tidak melakukan kekerasan kepada kaum perempuan walaupun kita hidup dalam budaya yang memungkinan dominasi kaum pria. Budaya kita hidupi tetapi itu bukan menjadi instrumen untuk melapangkan kekerasan kepada kaum perempuan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun