Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Satinah dan Hukuman Mati di Arab Saudi

31 Maret 2014   14:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:16 445 3
Satinah binti Jumadi Ahmad. Wanita 41 tahun asal Dusun Mrunten, Desa Kalisidi, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, ini bisa jadi akan mengakhiri hidupnya tanggal 3 April 2014 di Buraidah, Provinsi Al Gaseem, Arab Saudi, dengan cara dipancung.

Hukuman pancung bagi kita terdengar sadis. Tapi hukuman itu efektif untuk mengurangi rasa sakit si terhukum. Sekali penggal, nyawa langsung melayang. Bisa jadi, si terhukum tidak "sempat" merasakan sakit. Jadi, hukum pancung itu tampak "sadis" tapi sebenarnya manusiawi.

Sudah ribuan tahun hukuman itu diberlakukan dan dianggap sebagai cara yang bijak untuk menerapkan hukuman mati. Negara lain, memberlakukan aneka cara eksekusi dari humuman gantung, tembak, setrum listrik, suntik mati, dan rajam. Dan Arab Saudi lebih memilih pancung meski mengenal hukuman tembak juga. Silakan dibandingkan tingkat kemudahan matinya seseorang dan tingkat kesakitannya untuk masing-masing cara eksekusi ituBerbilang tahun pula Arab Saudi berpraktik hukum seperti itu. Kita menghormati negara kerajaan itu tanpa pernah mengusiknya. Karena itu pula, terkait dengan rencana eksekusi terhadap Satinah, pada dasarnya kita tidak bisa melakukan apa-apa. Kita harus menghormati kedaulatan hukum negara lain. Kita pernah sangat marah ketika pemerintah Australia mengintervensi kasus Schapelle Corby si ratu ganja itu. Kita seperti dihina oleh Australia.

Kasus Satinah sebenarnya juga bukan tiba-tiba. Kasus ini sudah bergulir sejak 2007, ketika perempuan yang kabarnya mampu menghafal Al-Qur'an 17 juz itu tersangkut perkara pembunuhan dan pencurian. Melalui proses persidangan, Satinah dikabarkan tak pernah didampingi pengacara, ia mengakui perbuatannya dan dipenjara di Kota Gaseem sejak 2009. Hingga kasasi pada 2010 Satinah, ia tetap diganjar hukuman mati.

Seharusnya Satinah dieksekusi Agustus 2011. Namun, ia beruntung mendapat tiga kali pengunduruan, yaitu Desember 2011, Desember 2012 dan Juni 2013.

Hal yang bisa kita lakukan adalah melobi keluarga korban atau si terbunuh untuk memberi pengampunan dan menegosiasikan jumlah diyat atau semacam uang tebusan. Besarnya diyat untuk membebaskan Satinah Rp21 miliar. Angka yang sangat besar.

Masalahnya, apakah uang sebanyak itu harus ditanggung negara? Lalu bagaimana keadilan bagi rakyat lain yang masih miskin?

Pada prinsipnya, diyat tak bisa didiplomasikan. Karena itu, jalan terbaik adalah mengumpulkan uang secara ramai-ramai. Temanya adalah solidaritas, bukan politik. Jadi tak usahlah mengumpulkan uang kemudian berteriak kesana-kemari. Apalagi mencaci orang lain. Kita semua tahu, di masa kampanye dan politik sekarang ini, politik sedang menjadi panglima. Tapi, percayalah, rakyat sudah pintar, sudah beda membedakan mana kegiatan amal, mana pula yang politik atau politisasi.

Biarlah pemerintah melobi Kerajaan Arab Saudi dan keluarga korban untuk setidaknya menunda eksekusi. Syukur-syukur diyat bisa diturunkan sehingga angkanya menjadi "rasional" terutama rasional untuk bangsa Indonesia yang masih membutuhkan banyak modal untuk mambangun diri ini. Jalan-jalan masih banyak yang rusak, sekolah juga banyak yang hampir roboh.

Diyat merupakan urusan personal yang dasar hukumnya sudah jelas, yaitu hukum Islam. Memang tidak nyambung dengan hukum positif ala Indonesia yang lebih banyak mengadopsi pasal dari Belanda.

Diyat yang berasal dari kata diyatan berarti "membayar harta tebusan yang diberikan kepada korban atau walinya dengan sebab pidana penganiyaan (jinyat)". Karena itu, siapa pun tak bisa menentukan besarnya diyat kecuali korban atau walinya.

Selain melahirkan solidaritas, kasus Satinah juga layak dijadikan momentum bagi kita untuk merenung: mengapa begitu banyak orang kita terlibat kriminal di negara lain? Di Arab Saudi, menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), hingga kini terdapat 34 orang yang mengantre hukuman mati. Bahkan jika dihitung, ada 265 TKI di luar negeri yang terancam hukuman mati. Jumlah terbesar ada di Malaysia, kemudian Arab Saudi.

Jadi, begitu kompleks masalah hukum tenaga kerja kita di luar negeri. Masalah diyat dan juga hukuman mati itu sendiri, adalah hasil akhir dari sebuah proses yang rumit. Tenaga kerja kita memang harus mengerti hukum agar tidak melanggar hukum. Terlalu sering kita mendengar kabar tenaga kerja kita terjerat suatu kasus tanpa diketahui persis apa posisi hukumnya. Seolah tiba-tiba saja seseorang dihukum mati.

Kita lebih sering heboh di hasil akhir itu. Kita kurang peduli dengan pangkal masalah. Dan kita kerap menjadi begitu bernafsu menyalahkan ketika kasus sudah sampai di ujung yang notabene tinggal menunggu eksekusi.

Hukum di negara mana pun tak kenal negosaisi. Itulah paham hukum yang benar. Kita pun menganut hukum seperti itu. Dan kita tak pernah senang jika hukum kita diintervensi negara lain. Kita hanya mengenal mekanisme tukar tahanan dan juga ekstradisi. Itu pun tetap saja yang bersangkutan harus menjalani proses hukum meski ditukarkan.

Dengan segala hormat untuk Satinah dan keluarganya, kita memang wajib menghormati hukum negara lain. Tidak mudah untuk menegakkan hukum, apalagi hukuman mati. Hukum dimana-mana memiliki "perasaan" yang lahir dari berbagai subjektivitas. Bisa jadi, pemerintah Kerajaan Arab Saudi "keberatan" dengan hukuman pancung untuk Satinah karena begitu banyak rupiah telah mengalir ke negeri itu melalui jasa haji dan umrah. Tetapi ketika keluarga menetapkan diyat Rp21 miliar, sang raja tentu tidak bisa mencegah.

Jakarta, 31 Maret 2014

sumber : jurnas

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun