Mohon tunggu...
KOMENTAR
Roman

Benang Merah

17 Agustus 2025   12:04 Diperbarui: 17 Agustus 2025   12:04 66 2

Kata nenek, setiap manusia lahir dengan seutas benang merah yang diikatkan pelan di jari kelingkingnya. Benang itu tipis seperti bisik, lentur seperti doa. Ia bukan tali kekang—lebih mirip tali layang-layang yang tahu kapan harus memberi angin, kapan menahan, agar kau tetap menari di langit tanpa terlepas dari tangan yang jauh. “Itu ikatan cinta Ilahi,” kata nenek sambil menatap jendela yang berembun. “Sudah didesain sebelum namamu diberi, sebelum napasmu belajar masuk dan keluar.”

Tumbuh besar, kamu akan kenal bahwa benang itu punya caranya sendiri memanggil. Ia tidak berteriak, tidak pula menjerat. Hanya getaran kecil di kulit, rasa ingin menoleh tanpa alasan, langkah yang tiba-tiba terasa pas. Dan sebelum kamu bertemu jodohmu, benang itu akan mempertemukanmu dengan orang-orang yang datang seperti musim: singgah, memberi makna, lalu berubah setenang langit berganti warna.

Suatu awal tahun, kamu bertemu seorang pemotret jalanan. Ia mengajarkanmu bahwa cahaya selalu punya pintu keluar, bahkan dalam gang paling sempit. Kalian berbagi teh di trotoar, tertawa pada bayangan sendiri yang terpotong becak, dan sejenak jatuh cinta pada cara dunia memantulkan wajah kalian. Tapi cinta kalian adalah kilat: indah, singkat, menyantroni langit lalu lenyap. Dari dia, kamu belajar bahwa meski gambar bisa dibekukan, orang tidak. Kamu belajar memotret tanpa ingin memiliki—pelajaran pertama tentang melepaskan.

Lalu datang seorang pembuat roti. Tangannya hangat, kata-katanya sedikit. Ia tidak bicara tentang masa depan, hanya memperlihatkan adonan yang sabar. “Ragi adalah keyakinan kecil,” katanya. “Tak terlihat, namun mengangkat.” Kalian menunggu adonan naik seperti menunggu kabar baik yang tahu jalan ke rumah. Di sisinya, kamu belajar bahwa sesuatu yang bernilai tidak tumbuh di suhu tinggi; ia perlu keheningan oven yang setia. Kalian bubar tanpa drama, seperti roti yang disantap sampai remah terakhir. Dari dia, kamu belajar merawat api kecil.

Ada juga seorang pelaut sungai yang kamu temui di dermaga tua. Ia mahir membaca permukaan air, tahu di mana arus bersembunyi, di mana pusaran menyimpan kapalnya. Ia menepuk bahumu dan berkata, “Air itu seperti hati. Tenang di atas, riuh di bawah. Jangan berlayar hanya dengan mata.” Kalian berjalan menyusuri tepi, menghitung ritme ombak pada tiang-tiang kayu. Cintamu padanya adalah perahu yang selalu punya pelabuhan lain. Di situ, kamu belajar keberanian untuk pulang dan—bila perlu—berbelok.

Orang-orang itu seperti jarum yang tahu kapan menembus kain, kapan mundur. Mereka menjahitkanmu ketabahan, mengajarkan tusuk-tusuk dasar supaya nanti kamu bisa menenun tanpa takut salah. Dan benang merahmu? Ia tidak membawamu dari satu hati ke hati lain seperti obor lomba lari; ia hanya memastikan kamu tidak tersesat dari dirimu sendiri.

Hidup berjalan, dan kamu mulai paham: pertumbuhan sering datang sebagai kerikil di sepatu, bukan sebagai karangan bunga. Kamu belajar menahan lidah, menakar kata. Kamu belajar bahwa meminta maaf bukan tanda kalah, seperti juga memaafkan bukan tanda lupa. Kamu membenahi benangmu yang kadang kusut, duduk tenang, menyisiri simpulnya satu per satu. Ada lelah, tentu saja. Tapi lelahmu berbau kayu manis—hangat, domestik, membuat rumah terasa rumah.

Suatu pagi yang biasa, kamu ke pasar. Hujan baru saja reda, daun-daun masih meneteskan sisa langit. Di lapak sayur, seorang perempuan menawar daun kemangi sambil menahan rambutnya yang tertiup. Tarikan benang itu terasa lagi—bukan seperti gempita drum, lebih seperti bunyi sendok mengenai bibir cangkir. Pelan, namun jelas. Kalian sama-sama salah menakar kembalian, lalu saling minta maaf seperti orang-orang yang sudah sering bertemu. Tidak ada kembang api, tidak ada narator yang berdiri dan bertepuk tangan. Ada wangi basah tanah, ada semut yang berbaris di kaki meja, ada sisa hujan yang memantul di mata kalian. Dan, entah bagaimana, dunia tiba-tiba mengecil suaranya supaya kalian bisa mendengar satu sama lain.

Kau tidak merasa dilengkapi olehnya—karena kamu tidak pernah patah menjadi setengah. Kamu merasa disejajarkan. Kalian seperti dua garis yang memilih berjalan berdampingan, bukan saling menelan. Ia bukan dinding tempat kamu bersandar habis-habisan, ia jendela yang kamu buka bergantian. Di hari-hari kalian, cinta tidak memekik, ia bekerja. Ia hadir sebagai pintu ditutup perlahan saat kamu tertidur, sebagai chat pendek yang berbunyi “sudah makan?”, sebagai tangan yang membetulkan kerah bajumu tanpa menanyakan kenapa kamu gugup.

Kalian belajar bahasa benang: kapan mengencang, kapan mengendur. Kalian sepakat bahwa menahan terlalu keras akan memutus, membiarkan terlalu longgar akan terseret. Jadi kalian mengikat simpul-simpul kecil di tempat yang perlu—di kebiasaan yang baik, di amarah yang ingin tumbuh menjadi pohon, di janji yang berhak hidup. Kalian merayakan hal-hal remeh: piring cuci yang dibagi, cat dinding yang mengering tidak rata, pot kembang yang salah arah lalu diputar menghadap matahari. Dan diam-diam, kalian tersenyum pada cara Tuhan menyembunyikan keajaiban dalam rutinitas.

Sesekali masa lalu mengetuk. Potret tua mengintip dari laci, bau roti muncul entah dari mana, sungai terdengar lagi di radio tetangga. Kalian buka pintu, mempersilakan masuk, menyeduhkan teh. Kalian bilang, “Terima kasih sudah membesarkan kami,” lalu mengantar mereka pulang sampai teras. Cinta kalian tidak menghapus sejarah, ia merangkulnya sebagai benang-benang lain yang menguatkan tenun.

Suatu malam listrik padam. Kota jadi hitam seperti punggung paus. Kalian duduk di beranda, menghitung jeda antara kilat dan guruh. Dalam gelap yang ramah itu, kamu merasakan sesuatu yang lama kamu cari: tenang yang bukan dari sepi, melainkan dari kehadiran. Kamu melihat tangan kalian bertemu di tengah, tanpa harus mencari. Dan kamu tahu, benang merahmu tidak lagi menarik ke arah tak tentu; ia melingkar tenang di pergelangan, seperti gelang yang akhirnya menemukan pergelangan yang pas.

Barangkali begitulah jodoh bekerja: bukan sebagai pertunjukan besar, melainkan sebagai kesesuaian halus. Ia membuatmu lebih menjadi dirimu, bukan menyulapmu menjadi orang lain. Ia sepadan bukan karena sama, melainkan karena setara dalam menanggung, setara dalam menumbuhkan. Kalian tidak berjanji untuk tak pernah marah; kalian berjanji untuk tak pernah hilang arah saat marah. Kalian tidak berjanji untuk selalu mengerti; kalian berjanji untuk selalu kembali bertanya.

Dan benang merah? Ia tetap merah, tetap sederhana. Bukan bendera perang, bukan pita hadiah. Ia adalah tanda bahwa ada Cinta yang lebih besar dari kalian berdua, yang menulis rancangan ini jauh sebelum kalian punya alfabet untuk membacanya. Ia tidak menyeret—ia mengajak. Ia tidak membelenggu—ia menunjukkan jalan pulang.

Jika suatu hari benangmu terasa kusut, duduklah. Tarik napas. Buka simpulnya pelan-pelan, jangan paksa. Ingat orang-orang yang pernah singgah: pemotret, pembuat roti, pelaut—atau siapa pun dalam versi hidupmu. Mereka adalah guru yang tidak selalu bernama. Berterima kasihlah, lalu lanjutkan perjalananmu. Karena pada akhirnya, yang Ilahi tidak sekadar mempertemukan, Ia juga memampukan. Dan ketika kamu sampai pada seseorang yang membuat dunia mengecil suaranya, kamu akan tahu: bukan karena benangmu berteriak, melainkan karena hatimu akhirnya mengerti bahasa yang ia gunakan sejak awal

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun