Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Kegagalan Timnas Indonesia U-15 yang Terprediksi

8 Agustus 2019   13:20 Diperbarui: 8 Agustus 2019   15:17 108 2
Timnas Indonesia remaja sudah tampil bagus, itu sudah jelas. Apalagi jika kita menonton pertandingannya sejak laga pertama fase grup hingga laga terakhir fase grup. Garuda remaja nyaris menuntaskan turnamen di grup dengan menyapu bersih semua laga. Hanya melawan tetangga dekat, Timor Leste saja Marselino dkk gagal mendulang angka penuh.

Meski demikian, timnas asuhan Bima Sakti ini sukses melenggang ke semi final sebagai juara grup. Skuad Merah Putih ditemani Vietnam sebagai runner-up yang ternyata mampu menyingkirkan Timor Leste yang awalnya bersaing ketat dengan Indonesia di papan atas klasemen grup.

Indonesia bertemu dengan Thailand, sedangkan Vietnam bertemu dengan Malaysia. Lagi-lagi empat besar diisi oleh empat negara yang memang secara tradisi (di seluruh level) AFF selalu berada di zona tersebut. Khususnya untuk level remaja, Indonesia bahkan sempat menghadirkan gelar juara. Saat itu, timnas diisi oleh pemain-pemain seperti Bagus Kahfi, Bagas Kaffa, Sutan Zico, Supriadi, Ernando Ari, dan lain-lain.

Kini skuad pemain timnas remaja sudah berbeda dan pelatihnya pun berbeda. Namun, timnas remaja tersebut mampu menghadirkan optimisme (kembali) kepada masyarakat ketika mereka mampu melahirkan banyak gol di seluruh laga di grup (kecuali di laga melawan Timor Leste). Hal ini membuat timnas digadang-gadang akan mampu melaju ke final lagi dan mencoba meraih gelar kedua di level tersebut.

Namun, faktanya timnas gagal melaju ke final. Mereka ditundukkan oleh Thailand (2-0) dan membuat skuad asuhan Bima Sakti tidak berhasil menyamai prestasi yang ditorehkan skuad Fakhri Husaini. Masyarakat pun kembali dihadapkan pada realitas bahwa timnas harus merasakan kekalahan.

Kekalahan dan kegagalan melaju ke final ini sebenarnya sudah terprediksi. Mengapa dan bagaimana bisa seperti itu?

Pertama, timnas menghadapi tim-tim yang secara organisasi permainan tidak komplit -ketika di fase grup. Dari seluruh timnas yang berlaga satu grup dengan Indonesia, hanya Timor Leste dan Vietnam yang mampu menyamai level organisasi permainan skuad Bima Sakti. Bahkan sebenarnya meski Timor Leste mampu memaksa laga berakhir seri -dengan Indonesia, namun permainan mereka tidaklah lebih bagus dari Vietnam -yang kalah dari Indonesia.

Satu-satunya keunggulan Timor Leste adalah tenaga. Mereka memiliki tenaga yang hampir sempurna dalam 80 menit per pertandingan. Ditambah lagi konsentrasi permainan mereka cenderung berada dalam zona ofensif. Artinya, cara bertahan mereka adalah dengan terus menekan permainan lawan. Keberanian melakukan pressing tinggi itu membuat lawan kesulitan mengembangkan permainan, sehingga lawan dapat melakukan kesalahan dalam mengorganisir permainan.

Contoh yang lebih sempurna adalah seperti permainan Atletico Madrid bersama Diego Simeone atau Borussia Dortmund saat bersama Jurgen Klopp. Permainan Timor Leste hampir seperti itu, dan itu adalah formulasi tepat bagi Timor Leste ketika menghadapi tim-tim cerdas (dalam organisasi permainan) seperti Indonesia dan Vietnam.

Jurus ini juga semakin ampuh ketika menghadapi tim-tim yang tidak kuat dalam organisasi permainan. Sehingga Timor Leste mampu menghancurkan pertahanan lawan dengan mudah. Apalagi ini masih di level remaja, yang mana belum berbicara soal mentalitas melainkan daya tahan. Ketika pengelolaan stamina masih kurang bagus ditambah dengan bombardir dari lawan yang sangat intens, pada akhirnya pasti akan menghadirkan petaka kepada tim tersebut.

Inilah yang membuat Timor Leste terlihat begitu mengejutkan dan mampu menggebrak tatanan grup, sebelum akhirnya disingkirkan oleh Vietnam. Vietnam memang lebih layak untuk melaju lebih jauh karena mereka sebenarnya lebih komplit. Permasalahannya adalah mereka masih remaja, kondisinya sama seperti semua tim yang ada di fase grup itu.

Ketika mereka sudah gagal mempertahankan momentum, maka mereka lebih cepat melepasnya dan "membiarkan" lawan mampu mengintimidasi. Hal ini sama seperti tim-tim lain yang digelontor banyak gol oleh Indonesia dan Timor Leste. Mereka yang sudah jatuh secara mentalitas kolektif akhirnya dapat dimanfaatkan oleh tim lawan -untuk mengalahkan dengan skor besar.

Kesempurnaan bukan berarti harus selalu menang, namun yang paling utama adalah mampu menjaga keseimbangan kualitas menyerang dan bertahan. Inilah yang lebih dimiliki Vietnam dibandingkan tim-tim lain. Karena, Vietnam berani bermain terbuka. Mereka tidak hanya mampu menekan pertahanan lawan namun juga berani membiarkan lawan berkreasi di daerahnya sendiri.

Di satu sisi ini berbahaya, namun di satu sisi lainnya ini bermanfaat untuk jangka panjang di turnamen ini. Yaitu, mereka akan tahu bagaimana caranya belajar bertahan ketika benar-benar sedang tertekan. Inilah yang kemudian kurang dialami oleh timnas Indonesia.

Timnas Indonesia ketika sudah memiliki momentum, mereka akan menghajar terus pertahanan lawan. Sehingga, mereka tidak punya pengalaman untuk benar-benar menghadapi permainan yang bagus dari lawan. Timnas remaja kita tidak punya evaluasi untuk bertahan. Karena, mereka sudah nyaris sempurna dan kesempurnaan itu ada di titik ofensif.

Kendalanya adalah ketika sisi ofensif itu mampu dihentikan oleh lawan, apa yang dapat dilakukan oleh timnas Indonesia? Mampukah timnas bertahan dengan baik?

Inilah yang membuat kita melihat ada faktor kedua dari kegagalan timnas U-15. Yaitu mereka tidak punya banyak waktu untuk melihat sisi kelemahan mereka. Para pemain sudah terbiasa bermain ofensif, karena itulah cara terbaik untuk menang.

Hal ini terbukti dengan kemenangan besar timnas di setiap pertandingan. Tentu sangat logis bagi sebuah tim -apalagi di level remaja- yang mampu mengintimidasi permainan lawan akan keluar sebagai pemenang. Karena memang tidak ada kesempatan bagi lawan untuk berkembang. Bagaimana mungkin sebuah tim dapat berkembang ataupun mencuri gol, jika pertahanan mereka terus dibombardir oleh serangan-serangan yang tidak kunjung berhenti. Inilah yang digunakan oleh timnas kita dan inilah yang membuat kita merasa sudah mampu untuk berbicara peluang juara.

Para pemain Indonesia sudah terbiasa "dimanjakan" oleh pertahanan lawan yang tidak mampu menjalankan dua strategi pakem dalam bertahan. Yaitu, zona marking dan man-to-man marking. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana para penyerang kita dapat leluasa menanduk bola dari crossing ke kotak penalti dan di sana hanya ada dua pemain bertahan lawan. Termasuk ketika pemain-pemain remaja kita mampu merangsek masuk dan mengeksekusi bola sambil terjatuh dan gol tercipta. Ini adalah bukti bahwa permainan lawan tidak bagus dalam bertahan dan ini membuat timnas kita sudah di atas angin.

Situasi inilah yang tidak terjadi di laga melawan Thailand. Para pemain Indonesia tidak menemukan celah dan mereka juga menghadapi permainan yang lebih "dewasa" dari lawan. Sebuah situasi yang tidak ditemukan oleh timnas Indonesia di fase grup. Inilah yang membuat timnas Indonesia terlihat seperti mengulangi kegagalan timnas U-16 Fakhri Husaini waktu itu ketika bertanding dengan menghadapi tim-tim dari zona Asia. Mereka yang terbiasa mampu membombardir pertahanan lawan, menjadi terdikte oleh tim lawan karena tim lawan memiliki organisasi permainan lebih baik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun