Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Benteng Empat Buah

20 Mei 2021   01:41 Diperbarui: 20 Mei 2021   01:48 230 2
Si gadis dan si mawar sampai di dunia bunga. Waktu itu siang hari, dimana para bunga sedang sibuk dengan urusannya. Ada yang berlarian kesana -- kemari. Ada yang melompat -- lompat. Ada juga yang terbang di atas langit.

"Mawar, aku minta bantuanmu." Kata si gadis.

"Apa?"

"Mumpung para bunga itu masih bisa bergerak kesana -- kemari, ajaklah mereka ke atas bukit."

"Baiklah. Aku akan mengajak mereka."

Lalu si mawar mulai menghampiri bunga dahlia. Bunga itu sedang asyik membaca koran.

"Hai dahlia, hari yang cerah ya?" sapa si mawar.

"Begitulah. Tapi ramalan cuaca di koran ini bilang, nanti malam akan turun hujan." kata si dahlia.

"Oh ya, ngomong -- ngomong ada kabar untukmu dan bunga lain."

"Kabar apa?"

Si mawar mendekat ke dahlia, lalu berbisik pelan.

"Ini ada hubungannya dengan mandrake itu."

"Ah, para pengganggu itu.. Kenapa dengan mereka?"

"Aku dengar mereka akan menyerang tempat ini nanti malam. Jadi aku minta kau dan yang lain untuk pergi ke atas bukit."

"Ke atas bukit?"

"Ya. Agar kita aman dari serangan mereka."

"Baiklah. Kalau begitu aku akan memberitahu bunga lain."

Lalu si dahlia mengajak bunga lain untuk mengungsi dari tempat itu. Mereka berjalan ke atas bukit. Disana mereka ditemani si mawar dan si gadis.

"Apa disana sudah tidak ada bunga lagi?" tanya si gadis.

"Kelihatannya tidak." kata si mawar.

"Kerja bagus. Sekarang kita tinggal bersiap meredam serangan mandrake itu."

Si gadis melihat ke bawah bukit. Disana ada gurun pasir yang sangat luas. Dan para mandrake datang dari seberang gurun itu.

"Jadi, apa yang akan kau lakukan?" tanya si mawar.

"Mereka akan melintasi gurun itu. Jadi aku akan membangun benteng disana."

"Benteng?"

"Ya. Benteng kecil. Agar mereka kesulitan mencapai tempat kita."

Lalu keduanya pergi ke tengah gurun. Mereka mengambil beberapa benih dari dalam kantong. Benih kedondong. Mereka menabur benih itu di gurun, dan seketika benih itu tumbuh menjadi buah kedondong. Buah itu kecil, bulat dan berwarna hijau.

Setelah itu, mereka mengambil benih lagi. Kali ini benih durian. Mereka menaruhnya di belakang kedondong. Lalu seketika tumbuhlah durian dengan duri tajam.

Lalu si gadis menanam tunas pisang di bukit bagian tengah. Tunas itu berbuah, mengeluarkan banyak buah pisang berwarna kuning.

"Sudah. Kita tinggal menunggu mereka." Kata si gadis.

"Bukannya masih ada satu buah lagi?" tanya si mawar.

"Ya. Itu untuk sentuhan terakhir."

Matahari perlahan melengkung ke arah barat. Dunia bunga yang cerah, lama -- lama menjadi gelap. Malam pun tiba, dan bunga -- bunga itu berdiam diri di atas bukit yang aman.

Keamanan mereka mulai terusik saat melihat pergerakan di seberang gurun. Sulur -- sulur tanaman melata dengan cepat. Mereka sangat banyak, dan di belakangnya berbaris pasukan mandrake.

Mereka bertemu barisan buah kedondong di tengah. Tanpa ragu sedikit pun, sulur -- sulur itu melilit kedondong itu satu demi satu. Mereka berhasil menyedot kulitnya, namun saat tinggal bijinya, mereka baru sadar kalau itu jebakan.

Sulur itu terlanjur melilit biji kedondong yang penuh duri. Satu per satu berguguran, dan jumlah sulur berkurang drastis.

"Bagus, kedondong." Kata si gadis dari atas bukit.

Tapi meski sulur -- sulur itu tinggal sedikit, ada ratusan mandrake yang menyusul di belakang mereka. Mereka berlari dengan kencang, lalu menubruk kedondong yang tersisa. Benteng kedondong diobrak -- abrik oleh hantaman badan mandrake yang kokoh.

"Gawat, benteng pertama hancur." Kata si mawar.

"Semoga durian itu bisa berguna." Kata si gadis.

Mandrake yang terus berlari itu kini menemui benteng durian. Salah satu mandrake mencoba menaiki tubuh durian, tapi duri tajamnya menusuk -- nusuk tubuh mandrake hingga mati.

Mandrake mulai bingung, lalu mereka mengatur siasat. Salah satu dari mereka menundukkan tubuhnya, lalu mandrake yang lain berpijak di atasnya dan melompati durian -- durian itu.

"Sayang sekali, durian itu hanya berhasil membunuh satu mandrake." Kata si mawar.

"Ya. Tapi setidaknya sulur -- sulur itu tak berani mendekat." Kata si gadis.

Mandrake yang berhasil melompati durian terus maju ke arah bukit. Sampai di pertengahan, mereka berhadapan dengan pisang. Pisang itu begitu lembek, sangat mudah mereka hancurkan dalam sekali gencet.

Namun karena kulit pisangnya tersebar di tempat itu, para mandrake banyak yang terpeleset dan jatuh berguling -- guling ke bawah bukit.

Mandrake -- mandrake itu tak menyerah, mereka bangkit dan naik lagi. Tapi terpeleset dan jatuh ke bawah lagi. Karena bolak -- balik seperti itu, banyak mandrake yang kehabisan tenaga, dan akhirnya mereka tertahan di bawah.

"Kau hebat." Kata si mawar kepada si gadis.

"Tidak, pisang -- pisang itu yang hebat. Mereka rela membiarkan tubuhnya diinjak agar mandrake itu kesulitan mencapai puncak."

"Jumlah mereka tinggal sedikit. Tapi tetap saja mereka bersikeras naik kesini." Kata si mawar.

"Ya. Cepat atau lambat, mandrake yang di belakangnya pasti menyusul. Kita tidak boleh membiarkannya."

"Jadi bagaimana?"

"Kita tenggelamkan mereka."

Lalu si gadis menabur benih terakhir. Ratusan benih jeruk ia sebar di bawah kaki mereka. Dan seketika muncullah ratusan buah jeruk segar berwarna oranye. Mereka bermuka masam, tapi melonjak -- lonjak dengan semangat. Diantara mereka bahkan ada yang bersorak -- sorak riuh.

"Jeruk, mandrake di bawah kehausan. Buatlah mereka merasakan kesegaran airmu." Kata si gadis, dan dengan sebuah mantra singkat, jeruk -- jeruk itu saling menabrakkan satu sama lain.

Jeruk -- jeruk itu saling membenturkan tubuhnya satu sama lain hingga pecah. Lalu keluarlah air jeruk dari dalam tubuh mereka. Karena jumlah jeruk itu sangat banyak, maka air yang keluar juga banyak. Air jeruk itu mengalir dari puncak ke bawah seperti sungai deras, menyeret para mandrake di bawah bukit dan di tengah gurun.

Dalam sekejap, tempat yang semula hanya berisi tanah itu, berubah menjadi genangan air jeruk yang mengalir deras sampai ke seberang.

"Berhasil!" Si mawar melonjak girang lalu memeluk si gadis.

Kini para mandrake itu sudah hilang. Sulur -- sulur itu pun sekarang sudah tidak ada. Tempat itu aman.

"Terimakasih, kau telah menyelamatkan dunia kami." Kata si mawar kepada si gadis.

"Tapi ini belum selesai. Penyihir itu masih ada disana. Aku yakin dia tak akan tinggal diam, melihat mandrake itu kalah."

"Mungkin. Tapi kau sudah mengurangi penderitaan kami."

Lalu tiba -- tiba hujan turun, si gadis dan si mawar pun memutuskan untuk kembali.

"Aku capek dan lapar. Kau punya sesuatu untuk dimakan?" kata si mawar.

"Entahlah. Semoga saja masih ada sisa makanan."

Mereka pun kembali ke toko bunga. Esok harinya, ada yang aneh dengan kota itu. Dulu tanaman banyak yang mati dengan misterius, tapi sejak si gadis dan si mawar meredam serangan mandrake itu, wabah yang memakan bunga -- bunga menjadi berkurang secara drastis.

Tamat

Cerita sebelumnya:
Pohon Mandrake yang Dicaci

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun