Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Retak di Antara Doa dan Realita

7 Oktober 2025   05:05 Diperbarui: 7 Oktober 2025   04:55 24 1

(Refleksi atas Musibah Musala Al-Ghoziny dan Luka Kesenjangan Sosial)


Musibah runtuhnya Musala Al-Ghoziny di Sidoarjo pada akhir September lalu menyentak kesadaran kita. Sebuah rumah ibadah, tempat sujud dan harap, roboh di tengah proses pembangunan yang sejatinya dimaksudkan untuk menambah kenyamanan beribadah. Namun di antara debu dan reruntuhan itu, yang tampak bukan hanya bata yang pecah, melainkan juga retakan dalam bangunan sosial kita---retakan antara moralitas, kesenjangan, dan rasa saling percaya.

Tak lama setelah kejadian, linimasa media sosial berubah menjadi arena penghakiman. Simpati bercampur sinisme. Ketika kabar tentang mobil mewah yang ditemukan di lokasi muncul, perdebatan kian panas. Nama pesantren dan kiai diseret ke tengah gelanggang opini publik, seolah tragedi ini menjadi cermin bagi moralitas mereka. Fenomena ini memperlihatkan satu hal yang getir: betapa cepatnya masyarakat kita menilai, sebelum benar-benar memahami.

Padahal pesantren di Indonesia bukan sekadar lembaga pendidikan agama. Ia adalah ruang pembentukan moral, pengetahuan, dan kepemimpinan. Di dalamnya, iman dan ilmu dipadukan untuk membentuk manusia yang berkarakter. Para santri datang dari beragam latar belakang---dari keluarga sederhana hingga yang berkecukupan---dengan semangat yang sama: menimba ilmu dan menanamkan nilai. Pesantren adalah jantung moral bangsa, tempat di mana ketulusan, kedisiplinan, dan pengabdian masih dijaga di tengah derasnya arus materialisme.

Namun, modernisasi yang tidak disertai pemerataan membuat sebagian pesantren berjalan di antara keterbatasan dan tuntutan zaman. Ketimpangan akses, dukungan teknis, dan kualitas infrastruktur menjadi celah yang kerap menimbulkan tragedi. Musibah di Sidoarjo bukan sekadar soal kegagalan konstruksi, tetapi cermin dari lemahnya sistem pengawasan dan pendampingan negara terhadap lembaga keagamaan di akar rumput.

Sebagian masyarakat kota memandang dari kejauhan, menilai dengan ukuran efisiensi dan logika modernitas. Dari jarak pandang itu lahir prasangka dan stereotip---bahwa pesantren identik dengan keterbelakangan, atau kiai identik dengan kekuasaan moral yang tak tersentuh kritik. Padahal, di balik dinding-dindingnya, pesantren terus berjuang menyeimbangkan tradisi dengan perubahan, spiritualitas dengan rasionalitas, keikhlasan dengan kemandirian.

Pemerintah mestinya membaca tragedi ini lebih dalam. Negara sering hadir sebagai pengatur, bukan pendamping; sebagai pengawas, bukan pelindung. Banyak pembangunan keagamaan berjalan dari inisiatif masyarakat, tanpa perlindungan regulasi dan pendampingan teknis yang memadai. Padahal, keselamatan umat semestinya menjadi tanggung jawab bersama.

Ironisnya, di saat pemerintah dengan megah merayakan Hari Santri Nasional, masih banyak pesantren yang berdiri di atas tanah pinjaman, dengan bangunan seadanya, dan tanpa jaminan keselamatan. Santri disanjung di podium, tetapi dibiarkan menanggung risiko di lapangan. Antara penghormatan simbolik dan perhatian nyata, jaraknya begitu jauh.

Kita sering berbangga menyebut Indonesia sebagai negeri yang rukun, namun lupa bahwa kerukunan tidak hanya diukur dari toleransi antarumat beragama, melainkan juga dari keadilan sosial dan keseimbangan ekonomi. Selama sebagian masyarakat hidup dalam kelimpahan dan sebagian lainnya bertahan dengan keterbatasan, kerukunan itu akan tetap rapuh---indah di pidato, tetapi retak di kenyataan.

Musala Al-Ghoziny runtuh di Sidoarjo, tetapi getarannya terasa hingga nurani bangsa. Ia mengingatkan kita bahwa pembangunan sejati bukan hanya tentang mendirikan bangunan, melainkan menegakkan nilai dan keadilan. Tragedi ini seharusnya menjadi momentum bagi kita semua---pemerintah, masyarakat, dan tokoh agama---untuk menata ulang hubungan sosial yang mulai renggang, serta menegaskan kembali tanggung jawab moral di tengah pergeseran nilai.

Kini, yang perlu kita bangun bukan sekadar musala yang roboh, tetapi juga kesadaran bahwa iman tanpa keadilan hanyalah slogan, dan pembangunan tanpa pemerataan hanyalah ilusi. Sebab bangsa yang besar tidak diukur dari seberapa tinggi menara dibangun, tetapi seberapa dalam ia menegakkan kejujuran, kepedulian, dan rasa kemanusiaan.


Daryl Haq
Mahasiswa Magister Manajemen Teknologi ITS Surabaya
Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI)


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun