Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Agresifitas Perempuan pada Fasilitas Publik Khusus Perempuan

20 Januari 2015   20:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:44 537 1
Oleh : Danik Eka R.


“Ancaman pun ada di ruang khusus perempuan.”

Sore itu hari Jum’at sekitar pukul16.30 WIB, saya mencoba beberapa kali masuk ke KRL Commuter Line jurusan Depok. Ini rutinitas saya setiap berangkat ke kampus. PT. KAI  menyediakan 2 gerbong khusus perempuan pada setiap rangkaian kereta diharapkan mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi perempuan. Namun terdapat realitas yang menarik, alih-alih mendapat keamanan dan kenyamanan di gerbong khusus perempuan malah perasaan jengkel hingga situasi membahayakan seringkali terjadi.

Naik KRL jam berangkat dan pulang kantor memang jadi waktu-waktu kurang manusiawi, beberapa kali saya harus terbawa kereta karena penumpang naik berebut masuk hingga mendorong kita tidak bisa turun. Penumpang yang akan naik dan turun yang saling dorong sering menyebabkan insiden saling umpat hingga bentrokan fisik. Beberapa penumpang bahkan ada yang sampai jatuh dan terluka. Saat berada di dalam kereta akan susah ditemui senyum dari para penumpang, emosi mudah meledak walau sekedar taksengaja tersenggol atau terinjak.

Banyak keluhan para pengguna KRL digerbong khusus perempuan, beberapa seperti yang dikutip pada berita-berita sebelumnya dalam Kompas News, 8 Agustus 2014. "Saya juga didorong, padahal saya sudah mau duduk. Akhirnya penumpang itu yang mendapatkan bangku," kata Rani. Diana (28), perempuan yang tengah mengandung lima bulan, mengungkapkan bahwa dia sering tidak diberi duduk oleh sesama wanita ketika bangku prioritas telah terisi penuh. "Mereka semua matanya merem dan pura-pura tidak melihat saya. Padahal saya sudah mengelus-ngelus perut," kata Diana. Sehingga pada jam-jam padat seperti ini saya seringkali memilih naik di gerbong umum karena tingkat kepedulian sosial penumpangnya lebih tinggi, padahal perempuan seharusnya lebih empatik.

Hal yang sangat menarik disini adalah kenapa egositik dan agresifitas malah terjadi pada gerbong perempuanyang penumpangnya sama-sama perempuan. Bukan hanya di KRL saja, di busway area khusus perempuan, di antrian kasir, toilet umum, bahkan di tempat-tempat ibadah juga terjadi agesifitas sesama perempuan. Semakin runyam jika perilaku agresi tersebut direspon oleh yang lainnya hingga tak kekerasan pun tak dapat dielakkan. Jadi masalahnya karena perempuan,perempuan dan perempuan? apa ini sebagai bentuk kompensasi perempuan atas status dan perannya yang menuntut banyak hal. Seolah menjadi fenomena logikater balik dari diksi “perempuan” yang cenderung ramah, penyayang, lembut, peduli tergilas begitu saja oleh perilaku agresi di tempat umum.

Agresifitas sebagai setiap tindakan yang dia niatkan untuk menyakiti atau melukai orang lain (Taylor, Peplau, Sears,2009). Pada kasus yang terjadi di ruang-ruang publik tersebut agresifitas ditunjukkan baik dari verbal, non-verbal (tatapan jutek, cemberut, tidak tersenyum, melirik, dll) bahkan hingga tataran perilaku (menyikut, mendorong,menginjak, dll). Perilaku agresi diawali dari perasaan agresif seperti amarah (anger). Namun anger tidak selalu berujung pada perilaku agresif, karena tidak selalu perilaku adalah refleksi dari apa yang kita rasakan. Hampir tidak ada manusia tidak memiliki amarah dalam beberapa situasi, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti serangan, frustasi, ekspektasi pembalasan serta kompetisi.

Serangan (intrusi) dari orang lain mendorong seseorang melakukan tindakan agresi. Seseorang yang didorong oleh orang lain berkali-kali hingga ia hampir keluar dari gerbong, akan menimbulkan kekesalan. Atau saat kita berhenti di lampu merah, diklakson berkali-kali oleh orang dibelakang kita. Serangan-serangan inilah yang akan menimbulkan amarah.

Frustasi disebabkan karena tujuan yang dicapai terhambat atau dicegah. Jam pulang kantor, tujuannya adalah sesegera mungkin pulang ke rumah untuk bertemu keluarga. Karena kepadatan kereta dan penumpang saling dorong akhirnya kita tidak segera mendapatkan kereta yang bisa mebawa kita segera sampai rumah. Sehingga dia juga akan berusaha memaksa masuk saat ada kereta datang, dan saat sudah di dalam gerbong akan memunculkan perilaku agresi. Menurut Taylor, et.Al, (2009), kehidupan keluarga menjadi salah satu sumber utama frustasi. Problem ekonomi menghasilkan level frustasi yang sangat tinggi dalam keluarga. Selain itu suhu lingkungan (panas, gerah, sempit, bising) pada ruang publik menimbulkan ketidak nyamanan dan kejengkelan sehingga meningkatkan ketegangan antar-personal.

Ekspektasi pembalasan, orang yang merasa mampu balas dendam kemungkinan marah terhadap banyak hal lebih tinggi daripada orang merasa lemah (Taylor, 1992). Kemampan untuk membalas dendam ini bukan hanya ditujukan kepada orang-orang sebagai sumber amarahnya, tetapi juga ditujukan kepada orangyang dianggapnya lemah. Sebagai contoh seseorang yang mengalami stress dengan rutinitas rumah tangga namun tidak bisa meluapkannya kepada suami atau anak, stress dengan pekerjaan namun tidak dapat marah kepada bosnya, sementara ditempat-tempat publik dimana seluruh penggunanya adalah perempuan mendorong seseorang merasa mampu membalas setiap hal yang membuat marah sekecil apapun. Tingkat agresifitas akan semakin tinggi apabila terapat fluktuasi dari berbagai jenis kemarahan yang tidak dapat diluapkan sebelumnya. Akhirnya agresfitas difasilitas publik khusus perempuan menjadi bentuk kompensasi atas keberdayaan dirinya.

Kompetisi. Situasi kompetitif sering memicu pola kemarahan, perbantahan dan agresi yang tak jarang bersifat destruktif, sedangkan jika situasinya kooperatif, agresi jarang terjadi (Deutsch, 1993). Coba bayangkan apabila seluruh pengguna fasilitas umum khusus perempuan saling memberikan kesempatan, mematuhi peraturan, menghormati yang lainnya, maka keadaan akan semakin kondusif. Berbeda apabila iklim kompetisi, saling berebut, tidak mematuhi peraturan.

Konformitas, sebagai bentuk pengaruh lingkungan kepada individu untuk mengikuti perilaku seperti yang dilakukan oleh kelompok. Pengguna fasilitas publik adalah kelompok yang memiliki norma tidak tertulis yangdilakukan oleh anggota kelompoknya, saat seseorang menggunakan fasilitas pulik tersebut secara tidak langsung mengikuti pola yang sudah berjalan. Contoh : di stasiun saat kereta mulai mendekat, seluruh calon penumpang mendekat bahkan menginjak garis kuning (padahal dilarang) agar bisa memasuki gerbong dengan cepat; saat memasuki gerbong mendorongkan badannya ke dalam agar mampu menyelipkan badan serta memadatkan penumpang-penumpang lainnya sehingga kondisimakin lapang. Perilaku ini diikuti oleh penumpang-penumpang lainnya.

Perilaku agresi ini sangat berbahaya jika sudah menular dan berubah menjadi deindivuasi. Deindividuasi terjadi saat kesadaran individu sudah hilang dan melebur di dalam kelompok. Hal ini dapat disebabkan oleh situasi baru yang kacau, serta kebisingan dan keletihan (Zimbardo, 1970). Dehumanisasi akan mengiringi proses deindividuasi. Dehumanisasi sebagai bentuk pengabaian dan penyepelekan kepribadian atau kualitas manusiadari orang lain. Ketika seseorang termotivasi untuk menyerang orang lain, apapun alasannya, mereka mungkin melakukan dehumanisasi dengan mengatributkan keyakinan dan nilai kepada target agresinya (Taylor, et. Al, 2009).

Serangan, frustasi, ekspektasi pembalasan, kompetisi, konformitas bukanlah variable bebas (dependent variable = DV) dari munculnya perilaku agresi (DV). Hal-hal tersebut menjadi aktif apabila factor-faktor penyebabnya juga aktif.

Perempuan dilahirkan dengan tugas biologis dan social yang kompleks, harus mejadi anak, istri dan ibu. Belum lagi jika ada tambahan tugas sebagai pelajar atau pekerja di sector publik. Kompleksivitas inilah yang menuntut perempuan harus mampu melakukan managerial terhadap tugas dan perannya. Apabila tidak mampu mencapai keseimbangan, akan menghasilkan reaksi stress yang membutuhkan kompensasi dari ketegangan yang dirasakan.

Infrastuktur fasilitas publik khusus perempuan sudah semakin meningkat, pelayanan pun juga semakin ditingkatkan dengan melarang selain perempuan menggunakannya. Namun tidak ada kesiapan penggunanya untuk tertib demi mencapai tujuan pengadaan semula, yakni keamanan dan kenyamanan. Pengguna disini adalah perempuan,selain ada budaya disiplin dan toleransi yang masih rendah. Seringkali faktor lingkungan menjadi salah satu alasan pemicu munculnya agresifitas. Sepertikemacetan, kebisingan, hingga suhu udara yang panas. Akhirnya kembali pada pertanyaan dimana letak kendali diri. Semua orang membutuhkan keamanan, kenyamanan dan tujuannya tercapai. Namun jika semua orang saling melihat orang lain adalah kompetitor untuk memperoleh itu, jelas-lah perilaku agresi yang muncul dan belum semua pihak bisa mendapatkannya. Saat ada kesadaran kooperatif bahwa fasilitas publik tersebut diperuntukkan dan dimanfaatkan bersama, maka antar-pengguna pun akan saling membantu agar yang lainnya dapat memperolehnya. Hal terpenting yang harus dibangun oleh para pengguna (perempuan, red) adalah kesadaran kooperatif.

Selain dari sisi perempuan, hal lain yang mampu menjadi pemicu factor agresifitas adalah beban peran yang kompleks baik di ranah domestic dan publik. Oleh sebab itu diperlukan lingkungan yang kondusif yang mampu berbagi peran, tidak membebankan semua menjadi tanggung-jawab seseorang saja (misal mendidik anak adalah tugas istri saja, suami tidak tahu-menahu dengan urusan dan kebutuhan rumah, atau pandangan bahwa yang berhak berkarier/berprestasi di publik hanya laki-laki saja). Selainitu varian-varian aktifitas untuk menghilangkan kejenuhan juga diperlukan, karena rutinitas mampu menimbulkan stress yang akumulatif. Agresi bisa menjadi salah satu bentuk kompensasinya.

Saatnya kita mulai menciptakan situasi fasilitas publik yang kondusif dengan meningkatkan kesadaran kooperatif baik dalam memperoleh keamanan dan kenyamanan, serta kesadaran dalam berbagi peran dan berkarier publik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun