Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Konvensi Partai Demokrat dan Pelacur Si "Pretty Woman"

19 Mei 2014   01:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:23 2645 50


Hampir semua remaja di tahun 90'an pernah menonton "Pretty Woman", film box office bergenre drama romantis yang ringan dicerna dan sangat menghibur. Saya pribadi bahkan menontonnya berkali kali.

Mungkin film ini luar biasa meledak karena faktor si cantik Julia Roberts dan Richard Gere sang aktor tampan yang berkolaborasi dalam tema cinta klasik yang tidak usang dipertontonkan. Aroma Hollywood sangat terasa, tapi alur ceritanya tetaplah universal. Pretty Woman adalah film  tentang cinta, ambisi, uang, kecantikan,  kesalahan masa lalu dan tentu saja kenikmatan duniawi.

Lalu apa hubungannya "Pretty Woman" dan Konvensi Partai Demokrat?.

Esensi cerita "Pretty Woman" adalah seorang gadis muda bernama Vivian yang karena latar belakang pendidikan dan salah pergaulan dengan mantan pacarnya, sehingga menjerumuskannya ke dunia pelacuran. Hmmm... kisah klasik seperti yang terlalu sering kita temui dimana mana. Kerasnya hidup sering membuat manusia mengambil jalan pintas untuk bisa bertahan atau mengikuti gaya hidup tertentu.

Vivian yang berprofesi sebagai  PSK, karena faktor wajah cantiknya dan body super aduhai, kemudian dipilih oleh Edward (Richard Gere) untuk menemaninya selama beberapa hari dalam urusan bisnis yang mengharuskan dia memiliki seorang pendamping agar memberi kesan pria rumahan yang memiliki kehidupan normal.

Aslinya Edward adalah pengusaha kaya yang super sibuk dan selalu mementingkan perusahaannya, dan menaruh uang diatas segala galanya. Money is everything. Everything is about money. Bagi Edward uang adalah sumber kekuasaan yang bisa membeli apa saja termasuk kesenangan dan membayar harga diri dan manusia lain.

Sampai kemudian dalam beberapa hari kebersamaannya dengan  Vivian, Edward melihat hal hal menarik dalam kepribadian si wanita PSK ini. Benar bahwa Vivian menjual tubuhnya demi mendapatkan uang. Dalam logika sederhananya, bagi Vivian ini adalah murni transaksi bisnis.  Tapi Edward melihat bahwa Vivian menjual dirinya dengan jujur, dan tidak pernah munafik atau serakah. Vivian tidak melacurkan hati nurani dan jiwanya.

What you see is what you get. Vivian tidak pernah berpura pura menjadi wanita baik baik dan bermunafik ria. Dia memberi pelayanan sesuai bayaran yang diterima. It's all fair and square.

Ketika di akhir kebersamaan mereka selama beberapa hari, Edward mulai menyukainya dan jatuh cinta kepadanya. Edward kemudian menawarkan untuk membelikannya mobil, apartemen, uang saku berlimpah agar  menjadi kekasih simpanananya. Vivian menolak, Edward terperangah.

Vivian yang selama beberapa hari bersama Edward justru mulai tersadarkan bahwa dia memiliki potensi yang jauh lebih mulia dari sekedar menjual tubuhnya. Vivian sadar bahwa untuk keluar dari dunia kelamnya, dia harus berusaha memiliki keahlian yang lain, dan itu dimulai dengan bersekolah dan memperoleh pendidikan.

Tawaran Edward yang begitu menggiurkan untuk wanita sekelas PSK seperti Vivian, ditolaknya. Ini membuat sang konglomerat heran.  Vivian sadar bahwa tidak ada jalan pintas menuju kemapanan dan kenyamanan yang membawa kebahagiaan sejati. Vivian bisa melihat bahwa sukses yang dicapai Edward adalah hasil bersekolah dan kerja keras secara konsisten dan berkesinambungan.

Edward juga menyadari betapa hipokrit dan munafiknya mereka yang memiliki uang dan kekuasaan, karena sering memandang rendah para pelacur yang menjual diri. Vivian menjual diri secara fisik, tapi tidak menaruh harga atas   hati dan cintanya.

Tadi pagi ketika menonoton lagi film ini di Fox Premium HBO, kemudian membaca gonjang ganjing keputusan Partai Demokrat yang sepertinya mengacuhkan hasil Konvensi, dengan memajukan sang ipar Pramono Edhie, bukannya pemenang konvensi Dahlan Iskan,  jelas terlihat  benang merah pelacuran dalam arti yang sesungguhnya.

Menjual diri adalah tindakan yang tidak terpuji. Tapi paling tidak dalam transaksi pelacuran, tidak ada yang ditutupi dan dibohongi. Berkaca dari film Pretty Woman, Vivian sang pelacur memberikan apa yang menjadi hak Edward , sesuai dengan kesepakatan mereka.

Rasa rasanya kok konvensi Partai Demokrat malah tidak lebih baik dari "kisah pelacuran" kelas teri, yang menjual mimpi berbalut demokrasi, padahal tidak ada isinya sama sekali. Bahkan secara gentleman, pemenang konvensi tidak cukup dihargai untuk dimajukan sebagai Cawapres, jika PD berkoalisi dengan Golkar.

Dalam dunia pelacuran yang ada hanyalah pertukaran uang dan jasa. Yang ditawarkan juga jelas: materi bertukar kenikmatan seks.  Tanpa penipuan. Tidak ada beli kucing dalam karung. Semuanya jelas dibicarakan meskipun tidak legal.

Dunia pelacuran malah memiliki kode etiknya yang "jujur" dan apa adanya. Pelayanan ekstra berarti tambahan bayaran. Tidak ada surga telinga, yang ada hanya kenikmatan sesuai bayaran yang diberikan berdasarkan kesepakatan bersama.

Lalu apakah politik yang ditunjukkan oleh para petinggi dan politikus negara ini yang katanya sadar hukum, perpendidikan, beragama , sudah lebih baik dari yang diperbuat oleh para PSK ?.

Kebohongan demi kebohongan terjadi dengan gamblangnya di depan mata kita. Salah satu contohnya adalah konvensi yang resmi digelar oleh Partai Demokrat.  Perhelatan yang kemudian  dimainkan dengan licik sehingga menghasilkan pemenang yang tidak memiliki nilai dan tidak terpakai bak' primadona yang dipasung dengan kejam.

Ketika kemudian Golkar bertransaksi dengan Demokrat, yang terlihat adalah  aktivitas dua pihak yang kalau boleh saya katakan  seperti menukar kemolekan palsu dengan uang lumpur.

Kata siapa melacur itu hanya terbatas pada menjual diri demi uang dan kenikmatan?  Pelacuran yang paling memiriskan hati adalalah menipu diatas tipuan berjubahkan demokrasi, "menjual"  orang lain demi ambisi dan keserakahan pribadi.

Mari kita renungkan....!

*gambar dari http://eci2.ctvcdn.com/pretty-woman-1990-necklace-scene-resize-914-516-HHbD0ejiaa.jpg

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun