Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Mencermati Puisi Politis dari Puisi Politik

4 April 2014   05:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:06 215 2

Sebagai penggemar dan penikmat puisi saya prihatin mengamati perkembangan per-puisi-an belakangan ini yang mengarah kepada pemerkosaan makna puisi sebagai sebentuk karya sastra yang mengedepankan keindahan, kedalaman rasa bahasa untuk menyampaikan pesan secara tersirat.

Puisi itu sendiri adalah sesuatu yang tersurat, karena biasanya dituliskan oleh pihak yang ingin menyampaikan pesan tertentu secara tidak langsung. Jadi meskipun pesan itu keras atau mungkin kasar bila tersurat menjadi tidak vulgar sehingga pesan itu berkesempatan menyentuh jiwa dan nalar sebelum dapat dipahami maknanya.

Puisi dari masa ke masa memang berevolusi dan bertransformasi. Dia dapat menjadi penyampai pesan dari individu ke individu, misalnya populer di kalangan mereka yang dilanda rasa rindu, cinta, gundah, galau dan sebagainya. Namun bisa juga menjadi penyampai pesan dari individu kepada suatu kelompok kepada penguasa yang dzalim dan anti kritik.

Ada juga jenis puisi yang berisi puji-pujian yang disampaikan oleh seseorang kepada penguasa, dimana sang penguasa tidak suka dipuji apalagi dikultuskan. Ini biasa ditemukan dalam bentuk puisi seorang murid kepada gurunya atau dari pengikut kepada Nabi dan Rasul yang dikaguminya, bahkan ada kepada Tuhan.

Dalam hal puisi dibuat untuk mengejek atau mempermalukan individu lain, merupakan bentuk fenomena tidak lazim dari penggunaan puisi. Jadinya puisi menjadi alat untuk merekam sisi negatif orang lain dalam bentuk karya sastra yang diperhalus. Meskipun tidak menyebut nama, namun bahasa yang digunakan tidak lagi tersirat bahkan bisa langsung diasosiasikan terhadap satu individu, saya ingin katakan penggunaan puisi untuk maksud tersebut kurang elok.

Bayangkan puisi itu tersimpan di dalam rekaman tulisan, dimana keturunan yang bersangkutan dapat membacanya turun temurun. Si pembuatnya mungkin sudah berdamai, tetapi orang-orang yang pernah dilukai atau dicederai secara individu oleh suatu puisi akan menyimpan memori negatif terhadap karya sastra yang bernama puisi ini, sehingga tak lagi menyentuh rasa atau jiwa yang lembut tetapi membakar nafsu dan ego yang bisa sewaktu-waktu mencari pelampiasan dalam bentuk lain.

Rangkuman dari keprihatinan saya ini saya tuangkan dalam bentuk puisi sambil membiarkan tivi terus menayangkan diskusi tentang politisi yang berpuisi, suatu tayangan sastra seharusnya, namun kali ini tidak menarik jiwa saya untuk menikmatinya karena saya yakin puisi apapun yang ditayangkan di situ pasti sudah terkontaminasi oleh pertarungan perebutan kekuasaan. Sama sekali tidak menyentuh kedalaman rasa saya. Berikut ini puisi saya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun