Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Macan Bermental Hamster

12 Agustus 2013   15:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:24 784 5
Baru-baru ini kita kedatangan tamu-tamu terhormat dari belahan dunia yang sering kita sebut Benua Eropa. Tamu-tamu itu bernama Belanda, Arsenal, Chelsea, dan Liverpool. Sangat menyenangkan melihat pemain seperti Robin Van Persie, Theo Walcott, Steven Gerrard, dan Eden Hazard dapat menari-nari di tanah Indonesia, yang kata bule-bule eropa udaranya sangat panas. Rayuan-rayuan dari bule-bule yang melabelin dirinya sebagai talenta-talenta terbaik dunia ini pun berhasil menarik minat masyarakat Indonesia, yang konon katanya baik hati dan suka menabung, untuk memenuhi arena yang bernama Gelora Bung Karno. Sekitar 80.000 orang menyaksikan pertandingan Indonesia vs Belanda yang dimenangkan Belanda dengan skor 0-3, sekitar 55.000 orang menyaksikan pertandingan Indonesia vs Arsenal yang dimenangkan Arsenal dengan skor 0-7, sekitar 85.000 orang menyaksikan pertandingan Indonesia vs Liverpool yang dimenangkan Liverpool dengan skor 0-2, dan sekitar 80.000 orang yang menyaksikan pertandingan Indonesia vs Chelsea yang dimenangkan Chelsea dengan skor 1-8 Dari keempat pertandingan tersebut ada beberapa kesimpulan cerdas yang dapat diambil. Pertama, orang Indonesia itu gila bola. Dari keempat partai tersebut, rata-rata disaksikan oleh 75.000 orang. Kedua, kita tidak pernah menang pada partai tersebut. Ketiga, dari keempat partai tersebut, kita hanya berhasil menjaringkan satu gol itupun melalui gol bunuh diri. Saya rasa gol itu juga merupakan ucapan terima kasih Tomas Kalas untuk para fans Indonesia yang telah menyambut Chelsea dengan baik layaknya superstar. Saya akan coba untuk mengupas point-point tersebut setajam silet. Saya tidak akan memfokuskan point pertama karena jumlah penonton dengan hamster tidak ada hubungannya kecuali yang nonton bola pada saat itu merupakan hamster (no offence bro, just kidding). Saya akan fokus pada point kedua dan ketiga. Mohon siapkan popcorn di tangan anda karena pembahasan ini memerlukan konsentrasi yang full. Sadarkah saudara-saudara dibalik keceriaan anda ketika Belanda, Arsenal, Liverpool, dan Chelsea menang dengan skor yang telak, semakin nampak lah kualitas mental timnas yang sesungguhnya. Apakah anda juga ikutan menertawakan Indonesia setelah salah satu media Inggris, The Mirror, menyebutkan, "Nyamuk lebih menyulitkan Chelsea ketimbang Indonesia." Arsene Wenger pernah mengkritik Timnas Indonesia dengan menyebutkan bahwa pemain selevel Andik Vermansyah, yang konon dijuluki Messi dari Indonesia oleh media-media galau tanah air, bertebaran di akademi Arsenal. Jose Mourinho pun pernah menyebut timnasĀ  tidak mempunyai potensi pemain yang spesial. Tapi Jose Mourinho pun berbaik hati memberi nasihat yang intinya kalo pemain anda tidak cukup baik bermain sepak bola seharusnya pemain anda bermain dengan nasionalisme yang tinggi ketika bermain. Saya setuju dengan perkataan Jose, saya melihat pemain kita bermain bukan untuk Garuda di Dada, tetapi bermain seadanya dengan harapan bisa mendapatkan tanda tangan dan kostum pemain idola mereka. Hal yang paling menyedihkan ketika melihat bahwa ada beberapa pemain yang mengincar kostum dan tanda tangan pemain idola mereka bahkan sebelum bermain. Melihat hal tersebut, ada sedikit lamunan gila yang mengusik pikiran kotor saya ini. Bagaimana kalau pada saat dijajah oleh Belanda, Ir Soekarno dan Moh, Hatta berebut untuk meminta tanda tangan kepada penjajah belanda karena kagum akan kegantengan dan kecantikan meneer-meneer Belanda pada saat itu. Apabila terjadi hal tersebut, pastinya kita tidak akan merdeka sekarang ini dan mungkin saja Johny Heitinga, Van Wolfwinkel, dan Wesley Sneijder akan menjadi menguasai industri boy band di Indonesia. Saya yakin Soekarno, Hatta, dan juga Ir Soeratin akan menangis melihat kondisi persepakbolaan kita. Saya kemarin menonton Malaysia vs Barcelona. Saya sangat kagum melihat bagaimana para pemain Malaysia tidak gentar walaupun lawan yang dihadapinya adalah alien catalan. Terlihat jelas bagaimana para Pemain Malaysia bertanding dengan nasionalisme yang tinggi sampai ada moment dimana salah seorang pemain Malaysia terlihat tidak canggung beradu argumen dengan Cesc Fabregas. Saya yakin pemain Malaysia tersebut bukan melihat Cesc Fabregas sebagai pemain yang pernah memenangkan Piala Eropa dan Piala Dunia, tetapi saya yakin pemain Malaysia tersebut melihat Cesc Fabregas sebagai musuh yang harus dihadapi dan harus dikalahkan. Hal tersebut yang tidak dipunyai pemain timnas. Pemain-pemain yang tampil beringas seperti macan di kompetisi lokal, yang berani menerkam pemain lawan bahkan tanpa segan-segan menerkam wasit, berubah menjadi hamster yang lucu ketika berlaga melawan tim yang secara level permainan berada diatas. Masih ingatkah saudara ketika Thailand berhasil mempecundangi Manchester United dengan skor 1-0 dan China dengan skor 5-1?. Muncul pertanyaan di benak saya, kenapa sih timnas tidak bisa seperti mereka?. Dari keempat pertandingan tersebut kita selalu kalah dan timnas hanya berhasil menjaringkan satu gol hadiah. Saya dapat menyimpulkan bahwa barisan gelandang dan striker tidak punya mental yang baik untuk berani berhadapan dengan pemain dunia. Mental tampil seadanya selalu terbentuk di sepak bola negara ini karena tanpa sadar para pemain dan pengurus sepak bola negara ini menomorduakan sepak bola itu sendiri. Sepak bola hanya dijadikan alat untuk memperkaya kantong sendiri. Pemain dan pengurus seperti tidak mempunyai motivasi yang lebih untuk berkembang. Kita bisa melihat bahwa pemain muda potensial kita terlalu nyaman bermain di kompetisi lokal dengan bujukan kesejahteraan dan kenyamanan yang ditawarkan oleh pengurus klub lokal. Saya salut melihat pemain seperti Irfan Bachdim dan Arthur Irawan yang rela meninggalkan comfort zone di liga lokal demi meningkatkan skill dan pengalamannya bermain di liga internasional yang lebih kompetitif dibanding liga lokal. Ketika uang menjadi prioritas, nasionalisme pun juga mulai terpinggirkan. Pemain lebih memilih loyal kepada klub daripada negara. Saya tidak dapat menyalahkan pemain karena ini sepenuhnya bukan salah mereka. Dalam ilmu manajemen, kualitas bawahan berbanding lurus dengan bagaimana atasan memperlakukan karyawan ini. Apabila atasan berlaku baik dan bijak semakin baiklah kinerja bawahan tersebut demikian juga sebaliknya. Masih teringat bagaimana ketika Boaz Solossa mengalami patah kaki melawan Hongkong, tetapi dia tidak mendapat perhatian yang khusus dari atasannya/pimpinannya yang bernama PS*I dengan kata lain PS*I tidak mau bertanggung jawab. Seorang mutiara seperti Boaz dibiarkan menjadi pesakitan sampai dia mengambil inisiatif sendiri untuk mengobatin cederanya. Saya terbayang apabila saya menjadi pemain timnas, saya berjuang sampai titik darah penghabisan untuk membela merah putih, tetapi sialnya ketika saya cedera saya ditelantarkan dan diacuhkan oleh negara yang saya bela. Kalo saya pribadi, saya jelas ogah membela negara lagi. Kalopun saya bergabung, saya ogah mengerahkan tenaga saya. Ketika kompetisi bergulir, banyak klub yang sulit membayar gaji pemain. Saya ingat dengan jelas bagaimana beberapa pemain PSMS Medan berunjuk rasa di depan kantor PS*I agar PS*I mau membantu mereka dalam pelunasan HAK mereka. Apa yang didapat mereka?, PS*I mengeluarkan sanksi kepada mereka karena dianggap telah melakukan tindakan memalukan. Saya merasa menjadi orang paling bodoh sedunia ketika mendengar pernyataan PS*I tersebut. Gimana ceritanya ada pegawai yang menuntut hak mereka dibayarkan kepada direksi perusahaan setelah sekian lama kewajiban yang mereka lakukan tidak dibayar dan malah akhirnya direksi perusahaan menghukum mereka. Bagaimana perasaan pemain ini ketika mereka tidak dibela oleh otoritas yang seharusnya membela mereka. Kesimpulannya seperti ini, negara aja gak berlaku adil kepada kami, ngapain kami berlaku adil juga buat negara. Sepakbola Indonesia pernah dijulukin sebagai macan asia pada zamannya. Timnas berhasil menahan tim dunia seperti Uni Soviet, tetapi perlahan macan itu berubah jadi hamster. Secara hukum alam, macan akan menjadi buas ketika tinggal di hutan yang penuh dengan macan buas karena hewan termasuk manusia akan menjadi sama dengan lingkungan yang didiaminya. Dewasa ini macan itu pun berubah menjadi hamster karena terlalu lama tinggal menetap di lingkungan yang penuh dengan hamster penurut yang mengangguk-ngangguk karena uang dan kekuasaan. Saya sebagai pencinta sepakbola sangat menunggu adanya sosok bersih yang mampu merubah tirani dunia hamster ini. Terlalu banyak hamster akan mengganggu pertumbuhan macan yang hendak menjadi dewasa. Sekuat apapun macan pada masa kecilnya akan tetap berubah menjadi hamster di masa dewasanya apabila dia dirawat oleh kawanan hamster. Saya kagum melihat bagaimana Pak Gita Wirjawan yang berhasil mengubah dunia bulutangkis Indonesia sebagai macan asia kembali setelah sebelumnya tertidur pulas, Kenapa sih Bapak Gita Wirjawan begitu hebat?. Jawabannya bukan kepada kehebatan Bapak Gita Wirjawan, tetapi karena Beliau mempunyai hati untuk memajukan dunia bulutangkis Indonesia. Saya dan mungkin jutaan penggila bola tanah air menunggu pemimpin yang mempunyai hati untuk mengubah sepak bola bangsa ini.

Walaupun timnas kami masih menjadi hamster, kami tetap setia untuk memenuhi Stadion untuk mendukung hamster kesayangan kami dengan harapan suatu saat hamster itu akan berubah menjadi macan kembali dan dapat menjadi kebanggaan kami kembali.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun