Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Dampak Penuruan BI rate Bagi Perbankan Syariah

18 Oktober 2011   07:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:49 2383 0
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia telah menetapkan penurunan suku bunga  acuan (BI rate) manjadi 6,5%. Langkah ini diambil untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan mempertimbangkan kemungkinan laju inflasi yang tetap terjaga di bawah 5%.

Bank Indonesia juga telah mempertimbangkan dampak penurunan BI rate terhadap kemungkinan capital outflow di tengah situasi global yang tidak menentu. Langkah ini diambil untuk memitigasi dampak penurunan kinerja ekonomi dan keuangan global terhadap kinerja keuangan Indonesia.

Di sisi lain, penurunan BI rate ini diharapkan semakin bisa menjadi stimulus di sektor riil untuk dapat tumbuh, sehingga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi nasional. Bagi para pengusaha, penurunan suku bunga kredit ini tentunya sangat ditunggu-tunggu untuk kembali menggerakkan roda bisnisnya.  Saat ini para pengusaha mendesak pihak perbankan untuk segera menyesuaikan tingkat suku bunga kreditnya.

Perbankan Syariah
Sebagai bagian dari perbankan nasional, perbankan syariah juga dituntut untuk dapat menyalurkan pembiayaan dengan harga yang wajar. Saat ini tariff pembiayaan di bank syariah dirasakan masih cukup tinggi bila dibandingkan suku bunga kredit bank konvensional. Lebih tingginya pricing di bank syariah ini tidak terlepas dari uniknya operasional di perbankan syariah.

Dari sisi pembiayaan, BI rate rendah akan memicu penurunan tingkat suku bunga, sehingga margin bank syariah akan semakin kompetitif. Namun demikian, penetapan pricing di bank syariah juga didasarkan pada analisis berbagai faktor risiko, yang agak berbeda dengan bank konvensional. Penyaluran pembiayaan bank syariah akan selalu berdasarkan analisis terhadap risiko yang akan muncul.

Saat ini produk-produk pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah dapat kita kelompokkan kepada dua jenis. Pertama, pembiayaan yang akan memberikan kepastian pembayaran bagi bank syariah, baik dari segi jumlah maupun waktunya.

Kedua, pembiayaan yang tidak memberikan kepastian pendapatan bagi bank syariah, dari segi jumlah maupun waktunya. Tingkat pendapatannya bisa positif, nol, atau bahkan negatif. Mengingat karakteristik kedua kelompok akad tersebut berbeda, maka analisis risiko pembiayaan terhadap kedua kelompok tersebut juga berbeda.

Dalam analisis risiko pembiayaan yang memberikan kepastian dalam pembayaran, bank syariah harus dapat mengidentifikasikan dan menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah. Pembiayaan yang berbasis ini umumnya mempunyai komposisi paling besar, misalnya pembiayaan dengan basis jual beli, sewa, dan istishna.

Pembiayaan dengan prinsip jual beli dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian, baik dalam bentuk angsuran atau maupun dalam bentuk sekaligus. Dalam pembiayaan ini bank akan menetapkan harga jual di awal perjanjian sebagai maksimum pembiayaan dan jadwal angsurannya yang tidak berubah sampai dengan jatuh tempo.

Meskipun terjadi fluktuasi suku bunga di pasar, dengan pembiayaan murabahah, angsurannya tidak berubah sampai pembiayaan lunas. Dengan demikian nasabah akan lebih mudah dalam mengatur cash flow-nya, karena adanya kepastian dalam angsuran setiap bulan. Berbeda dengan bank konvensional yang suku bunganya dapat ditinjau ulang setiap saat.

Dalam kondisi BI rate yang tinggi, bank syariah tidak diperkenankan menaikkan tarif pembiayaan murabahah yang sudah berjalan, karena maksimum pembiayaan sudah disepakati di awal akad. Pada kondisi ini bank syariah dihadapkan pada risiko tidak bersaingnya bagi hasil kepada dana pihak ketiga. Risiko ini biasanya juga muncul karena naiknya expected competitive return dari para nasabah dana.

Dalam rangka pengelolaan risiko ini, bank syariah dapat menetapkan jangka waktu maksimal untuk pembiayaan murabahah dengan mempertimbangkan beberapa hal di antaranya tingkat keuntungan saat ini dan prediksi perubahannya di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan syariah. Semakin cepat perubahan suku bunga di pasar semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.

Yang juga tidak kalah penting adalah bank syariah dituntut mengetahui ekspektasi bagi hasil kepada dana pihak ketiga yang kompetitif di pasar perbankan syariah. Semakin besar perubahan ekspektasi bagi hasil nasabah yang akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan. Dengan demikian sangat jarang bank syariah yang berani memberikan pembiayaan murabahah dengan jangka waktu 15 tahun.

Sementara itu, pembiayaan yang berbasis bagi hasil, seperti mudharabah dan musyarakah umumnya mempunyai risiko yang cukup besar. Dengan risiko yang lebih besar maka umumnya bank syariah akan menetapkan tarif pembiayaan ini lebih besar. Bahkan bank syariah jarang memberikan pembiayaan dengan pola bagi hasil ini. Atau jika ada nasabah yang akan dibiayai dengan pola bagi hasil, umumnya bank syariah telah membiayai sebelumnya dengan pola murabahah atau past performance nasabah tersebut telah dikenal dengan baik.

Tiga Aspek Risiko
Analisis risiko pada pembiayaan berbasis bagi hasil ini adalah mengidentifikasi dan menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memperhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan berbasis bagi hasil.

Penilaian risiko ini mencakup tiga aspek, yaitu risiko bisnis yang dibiayai, risiko berkurangnya nilai pembiayaan, dan risiko karakter buruk nasabah. Risiko bisnis merupakan risiko yang terjadi pada first way out, yang pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain risiko industri.

Risiko ini terjadi pada jenis usaha yang ditentukan oleh karakteristik masing-masing jenis usaha yang bersangkutan dan kinerja keuangan jenis usaha yang bersangkutan. Dengan melihat berbagai risiko di atas maka dapat dipahami pricing di bank syariah dapat lebih tinggi dibandingkan di bank konvensional.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun