Sore itu tanpa sengaja, Maryam melihatnya di jalan dekat kampus. Bergerombol di antara beberapa lelaki-perempuan. Tertawa-tawa cekikikan dan dengan santai gerombolannya masuk ke sebuah kedai kopi.
Maryam menghampirinya, menahan lelaki kurus itu membuka pintu kedai, sementara Pono sama sekali tidak terkejut ketika melihat Maryam. Tidak ada yang spesial. Pono bersetelan seperti biasa, oblong putih kumal yang entah berapa hari sudah digunakan, juga jeans yang butut sobek di sana-sini. Bau tubuhnya juga sama. Barangkali sudah seminggu tidak mandi. Seperti biasa pula di tangan kirinya tergenggam buku usang yang barangkali sudah dibacanya berulang-ulang. Ada bekas basah pula lantaran kena air beberapa kali. Â
"Ke mana saja kamu?"
"Wah, kamu tidak tahu? Beberapa hari ini aku dan beberapa kawan sedang berencana akan pergi ke pusat tata surya!"
Sinting, pikir Maryam. Paling-paling pemuda-pemudi seperti mereka hanya akan main-main ke puncak gunung atau pantai, atau main-main saja. Tapi raut wajah Pono kelihatan serius sekali.
"Kapan proposal skripsimu itu selesai?"
"Alah, itu bisa kapan-kapan. Kertas-kertas itu akan membusuk lapuk di makan rayap, tapi ke pusat tata surya? Ini sebuah kesempatan paling langka yang tidak pernah terbayangkan dalam hidupmu."
Kadang Maryam bertanya-tanya kapan Pono bisa menanggapinya dengan serius. Selalu saja mempermainkannya seakan-akan tentang dirinya dan lelaki kurus itu tidak memiliki hubungan apa-apa. Lalu Maryam mulai bertanya-tanya pula tentang masa depannya.
"Apa kamu tidak ada niat untuk segera lulus kuliah?"
Pono tidak menjawabnya. Hanya menyunggingkan senyum. Tak terasa mereka melewatkan waktu di depan kedai kopi dengan bertatapan sampai kemudian langit  berubah jadi merah, senja itu begitu memukau. Gerombolan Pono  keluar dari kedai. Menepuk pundak Pono untuk segera berlalu. Satu per satu terbang melayang, menuju angkasa luas tiada ujung. Maryam tercengang heran.
"Aku juga harus pergi, sampai jumpa lagi."
Maryam melihat kegilaan itu dengan mata kepalanya sendiri. Mereka terbang meninggalkannya sendiri, menuju mentari yang akan tenggelam di ufuk barat. Ternyata bukan sekedar omong kosong belaka.