Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Pendekar Pedang Sunyi (4)

29 Maret 2020   00:36 Diperbarui: 29 Maret 2020   00:38 169 1

Mahesa merasakan betapa pilu kehilangan ayah yang  sangat ia hormati. Ibu yang kerap menghibur dirinya saat ayahnya tak selalu berada disisinya ketika ia menjelang remaja begitu menyayangi anak semata wayangnya.

"Doakan bapakmu yang tengah mengawal Sultan ke Palembang untuk segera kembali Mahesa, entah berapa lama ia akan ada disana," hibur ibunya suatu malam di balai rumah sederhana tepi hutan dimana mereka bertiga tinggal

Suara burung hantu bersahutan dengan suara kepak kelelawar yang berserabutan mencari pohon buah didalam hutan. Matanya yang bulat menghias malam memantulkan sinar keperakan dari rembulan yang menterjemahkannya menjadi sinar kuning keemasan tanda malam semakin larut.

"Untuk apa bapak ke Palembang ibu?" tanya Mahesa ketika itu.

"Bapakmu ksatria pilihan Sultan, apapun yang direncanakan Baginda dalam memperluas wilayahnya bapakmu selalu mendampinginya. Kelak keberanian dan ketangguhan itu akan meretas dirimu Mahesa. Bapak berpesan agar ibu selalu menjagamu selama ia pergi,"

"Apakah bapak akan kembali,Ibu?"

"Tentu, tentu ia akan kembali!" tutup ibunya sebelum ia melingkarkan lengannya yang lembut ke tubuh Mahesa dan menggiringnya untuk masuk kedalam rumah yang hanya di terangi sebuah lampu damar temaram.

Pagi menjelang, jagung yang ditanam bapak sebulan sebelum ia berangkat mulai menampakkan bonggol buah. Rambut-rambut merah menyeruak diantara selongsong bakal buah jagung. Ketika Mahesa hendak menyentuh bakal jagung-jagung itu  seorang lelaki tiba-tiba sekelebat datang dengan suara nafas yang terengah-engah.

"Mana ibumu?" tanya lelaki itu. Mahesa hanya menunjuk ketengah rerimbunan ladang jagung dimana ibunya tengah mencabuti gulma-gulma yang bertumbuhan disana-sini di ladang mereka. Lelaki itu menyeruak diantara pohon jagung dan tak lama kemudian ia kembali dengan diikuti ibu yang berjalan tergopoh. Lelaki itu kembali ke arah jalan ia datang sementara ibu berhambur menuju rumah dan tak menyapa atau menghiraukan anak lelakinya yang tengah bingung tentang ada apa gerangan dipagi itu.

"Ayo kita ke Pelabuhan Mahesa...cepat!" begitu perintah ibunya sesaat ketika ia masih saja terkesima. Mahesa bergegas mengayunkan kakinya mengikuti ibunya dari belakang  yang seperti berlari cepat.

Perempuan itu begitu lembut pada Mahesa namun ketergesaan memperlihatkan bahwa ia bukanlah perempuan rumahan yang hanya bisa berjalan perlahan. Langkah kakinya yang berkelebat menyiratkan ia memiliki keseimbangan tubuh yang terlatih. Mahesa Kelimpungan mengimbangi langkah ibunya sementara yang ia tahu pelabuhan di kota paling tidak harus mereka tempuh satu jam lamanya jika berjalan kaki biasa.

Pelabuhan Bantam begitu terik menjelang siang hari itu. Sebuah Pelabuhan yang saat itu terkenal karena menjadi persinggahan saudagar-saudagar Eropa dalam berniaga rempah menampakkan limpahan orang-orang yang tengah menyambut dua kapal dari arah utara laut jawa.

Bunyi terompet membahana memberitahu penduduk disana akan kedatangan kapal-kapal kesultanan yang kembali setelah pergi beberapa bulan lalu.

Kapal kian mendekat, tak ada lambaian tangan kemenangan seperti biasa ketika kapal kesultanan mendarat dari sebuah ekspedisi. Kali ini ekspedisi ke Palembang terlihat hanya menyisakan dua kapal yang semula berpuluh kapal saat berangkat. Pelabuhan dipenuhi tanda tanya, para penjaga istana nampak bersiap menyambut.

"Mana sultan..mana sultan?" orang-orang berteriak bertanya ketika lambung kapal mendekat ke pelabuhan hingga sampai benar-benar terikat pada boulder tambatan pelabuhan yang kokoh.

Dari kejauhan, Mahesa melihat ayahnya terduduk di geladak kapal dengan wajah lesu. Ia memanggil-manggil dengan keras namun riuh orang-orang disana menenggelamkan suaranya. Tubuhnya yang lincah menyeruak diantara kerumunan hingga mendekati tangga kapal.

"Apa....Sultan gugur..ya Allah, Sultan gugur. Di Palembang?" teriak beberapa orang ketika kapal mulai menurunkan para awak dan penumpang yang kembali.

"Pangeran Mas..pangeran mas..benarkah itu terjadi?" seorang perempuan muda ningrat berteriak bertanya kepada seorang lelaki gagah yang geriknya menandakan kekalahan seorang ksatria. Lelaki itu mengangguk dan berlalu menuju sisi barat pelabuhan.Wajahnya muram dan sepanjang jalan tak ada lagi yang berani menyapanya.

Hari itu kekalahan mendera kesultanan bantam pada penyerangan terhadap dinasti Palembang. Meriam pasukan Kiai gedeng Sura mengakhiri riwayat Sutan Muda yang begitu diagungkan keberaniannya.

Mahesa dan ibunya menghampiri ayahnya yang tengah terpekur memandang kosong ke arah lautan lepas.

"Ini bukan kekalahan...Ini pengkhianatan!" dengus ayah Mahesa.

Menjelang siang hari itu, Mahesa melihat seorang ksatria, ayahnya tertunduk penuh kemarahan dan kegundahan. Beberapa luka ditubuh ayahnya terlihat membekas dengan tegas memperlihatkan betapa pertempuran gigih telah ia lalui.

Dua ekor kuda mengantarkan mereka bertiga menuju kediaman di tepi hutan. Ibu sibuk membersihkan luka bapak sepanjang perjalanan.

"Siapa yang berkhianat, bapak?" tanya Mahesa pada ayahnya yang masih saja tertunduk ketika kuda berjalan perlahan mendekati tikungan terakhir menuju rumah mereka.

"Bapak akan cari...akan bapak cari!"

(Cerita Silat Bersambung)  
   
-Pengarang: Aryadi Noersaid WFH 280320 Sanischara-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun