Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Mudik Horor (Bab 4)

25 Juli 2021   22:19 Diperbarui: 25 Juli 2021   22:57 260 2

(Bab 4: Penjual Sate Misterius)

Link Bab 3:
https://www.kompasiana.com/arfizon7367/60fba7a406310e687b45f4b2/mudik-horor-bab-3

Kami bingung. Jelas, tadi itu suara anak kedua kami. Kami sangat hafal suaranya. Tapi, dia masih tertidur pulas. Apa dia mengigau? Atau sedang dirasuki? Entahlah, kami benar-benar tak berani menyimpulkan.


"Gimana, Bun? Kita putar balik aja, ya? Entah suara siapa itu tadi, yang jelas seperti memberi peringatan kepada kita untuk tidak meneruskan menempuh jalan ini."


Aku coba meyakinkan istri untuk putar balik saja. Tak mengapa kehilangan waktu karena harus balik lagi ke titik semula, dari pada memaksakan untuk melewati jalanan berlumpur itu. Terlalu berisiko.


"Iya, Yah, kita putar balik aja."


Istri akhirnya setuju. Rupanya dia sangat terpengaruh dengan suara yang melarang kami tadi. Entah suara siapa tadi itu, yang jelas bermaksud menyelamatkan kami. Barangkali itu yang ada dalam pikirannya.


Pelan-pelan dia memajumundurkan mobil berulang-ulang supaya bisa berputar arah di jalan yang sempit itu. Di luar, suasana semakin mencekam. Kuperhatikan suasana sekitar, gelap gulita. Tak ada cahaya sama sekali selain sorot lampu mobil kami.


Bayangan hutan terlihat hitam pekat karena tidak ada temaram cahaya bulan sama sekali. Sejak dari Baturaja tadi, cuaca memang mendung, kemudian diikuti gerimis yang turun hampir di sepanjang jalan yang kami lewati.


Setelah sempurna berputar arah, mobil kembali berjalan ke arah kami datang tadi. Aku kembali mencermati google map untuk memandu istri menyetir.


Sekilas kuperhatikan wajah istri. Mencoba menakar suasana jiwanya saat ini. Aku simpulkan, dia masih cukup tenang. Walau tak bisa ditutupi rona-rona kekhawatiran dari air mukanya.


Kami harus kembali ke titik awal. Yaitu persimpangan tempat kami berbelok ke kanan di Kota Baturaja. Tempat di mana kami memutuskan lebih memilih mengikuti petunjuk google map ketimbang plang petunjuk jalan. Jaraknya puluhan kilo dari sini. Tapi, ini jauh lebih baik dari pada bertaruh risiko memaksakan diri melewati jalan berlumpur tadi.


Jika kami terjebak di lumpur itu, sudah terbayang betapa mengerikannya. Bisa saja kami jadi korban begal. Jika kami dirampok atau bahkan dibunuh di sana, tidak akan ada yang tahu.


Belum lagi kekhawatiran akan ancaman hewan buas. Karena bekerja di Kehutanan, aku tahu betul bahwa di sekitar lokasi itu masih sering berkeliaran Harimau Sumatera.


Kekhawatiran mengenai angkernya lokasi itu juga tak kalah menakutkan. Teka-teki mengenai suara misterius tadi sampai sekarang tidak bisa kami simpulkan. Entah penampakan apa yang akan muncul dan kejadian horor apalagi yang akan terjadi seandainya kami terjebak lebih lama di sana. Sungguh mengerikan.


*****


Sudah hampir satu jam mobil berjalan sejak kami berbalik arah tadi. Aku merasa ada yang aneh. Jalan yang kami tempuh sepertinya bukan jalan yang sama dengan jalan saat datang tadi.


Seingatku, jalan yang kami lewati tadi, kiri kanannya adalah hutan lebat. Sebagiannya berbukit-bukit dan jurang. Sementara, saat ini kami berada di jalanan yang kiri kanannya terlihat seperti padang rumput yang hanya ditumbuhi oleh rerumputan dan pohon-pohon ferdu.


Entah di mana salahnya, sehingga kami jadi melewati jalan ini. Padahal, aku menyetel tujuan ke arah titik awal kami tadi di Kota Baturaja. Tapi kenapa sekarang kami berada di jalanan yang suasananya tidak sama dengan saat berangkat tadi?


"Gimana, Yah? Jam berapa kira-kira kita sampai di Baturaja?"


Istri bertanya dengan suara lirih. Sementara matanya terus fokus ke depan.


Aku bisa merasakan bahwa dia sebenarnya juga sudah mulai dipengaruhi rasa takut. Namun berusaha tetap tenang.


"Kita sudah berada di jalur terdekat ke Baturaja, Bun. Terus aja jalan. Sekitar 1 jam lagi sampai," jawabku datar.


Karena tadi tertidur, istri tidak tahu bahwa jalan yang sedang kami lewati ini sebenarnya bukan jalan yang tadi. Aku sengaja membiarkan dia tetap tidak tahu. Supaya tidak bertambah cemas. Aku tetap berusaha semaksimal mungkin tidak membuat dia bertambah khawatir.


Sementara, dalam hati aku semakin resah. Sepertinya kami disasarkan lagi oleh google map, entah kemana.


Memang, suasana jalan tidak seseram yang tadi. Tidak lagi ada perbukitan dengan hutan lebat dan jurang-jurang. Hanya padang rumput datar dan luas. Namun, aku malah merasa suasananya ganjil. Entah kenapa.


Aku kembali fokus ke google map. Di peta terlihat, sekitar lima ratus meter lagi ada simpang empat.


"Bun, ada perempatan di depan. Kalau lihat di peta, lurus ke arah Prabumulih, jika belok ke kanan, arah Baturaja. Kita pilih yang mana? Dari segi jarak, sepertinya lebih dekat ke Prabumulih. Gimana, Bun?"


Istri pun meminggirkan mobil kira-kira dua ratus meter menjelang persimpangan yang kumaksud. Dia bermaksud berdiskusi dulu sebelum kami mengambil keputusan.


Belum sempat istri menjawab pertanyaanku tadi, samar-samar terliihat ada cahaya lampu di kejauhan. Sepertinya berada persis di sekitar persimpangan.


"Ada cahaya di depan, Bun. Cahaya apa itu, ya? Sepertinya dari gerobak dorong pedagang makanan. Coba dekati, Bun."


Istri kembali menginjak gas. Mobil berjalan pelan. Setelah semakin dekat, ternyata benar. Cahaya yang terlihat dari jauh tadi, memang berasal dari lampu petromak gerobak pedagang makanan keliling.


Mobil kami berhenti kira-kira tiga puluh meter dari gerobak itu.


"Pedagang sate, Bun. Aneh ya, kok ada pedagang sate di tempat sepi begini?"


"Hmm, iya sih. Tapi mungkin lokasi ini sudah dekat pemukiman, Yah. Bisa jadi pedagang itu jualan untuk orang-orang yang membutuhkan makanan untuk sahur." Istri coba menganalisa.


Aku perhatikan pedagang sate itu. Dia terlihat sibuk mengipas-ngipas daging sate dan sama sekali tidak terpengaruh dengan kehadiran kami. Dia sama sekali tidak menoleh ke arah kami.


Pedagang sate itu memakai baju dan celana panjang putih. Memakai topi caping agak lebar. Posisinya membelakangi kami. Sehingga wajahnya tidak bisa kami lihat.


Istri membunyikan klakson dua kali. Namun, pedagang sate itu tetap tidak bereaksi sama sekali. Masih saja asik mengipasi sate. Asap pembakaran daging sate terlihat mengepul kemana-mana terbawa angin.


"Yah, coba Ayah turun. Tanyain arah jalan ke tukang sate itu. Supaya kita ada kepastian. Tidak hanya mengandalkan google map aja."


Aku agak ragu. Karena rasanya tidak logis ada penjual sate di tempat sepi begini. Argumen istri tadi juga tidak sepenuhnya masuk akal.


Aku perhatikan lokasi persimpangan itu, benar-benar tidak ada apa-apa. Hanya persawangan membentang luas. Tidak terlihat tanda-tanda ada pemukiman tak jauh dari situ. Sejauh mata memandang tak satupun terlihat cahaya yang berasal dari penerangan rumah.


Tapi kemudian terpikir juga, bahwa kami memang perlu informasi langsung dari orang yang tahu daerah sini. Aku merasa google map memang tidak bisa dipedomani lagi. Terbukti, dari tadi kami sudah nyasar kemana-mana gara-gara hanya mengandalkan google map. Akhirnya, aku putuskan untuk mengikuti saran istri.


"Baiklah, Ayah akan tanya penjual sate itu."


Aku pun turun dan berjalan perlahan mendekat ke arah gerobak sate. Baru beberapa meter melangkah, aku berhenti dan tertegun.


-Bersambung-


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun