Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Narasumber Pembelajar

2 Januari 2015   16:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:58 17 0
Pernyataan tersebut sebenarnya senada dengan pemikiran saya, yang tak terucap dalam hati. Namun, diucapkan oleh Kak Kusumo, Pemateri Teacher Writing Camp, seminggu yang lalu. Sejujurnya, memang demikian kenyataannya pada diri saya.

Jumat, 26 Desember 2014, saya meluncur bersama paklikĀ  Thamrin Sonata, yang didapuk menyampaikan perihal menerbitkan buku, dalam acara TWC 4. Bukan masalah mudah buat saya meninggalkan bu Enny bersama teman-teman lain di saat kopdar. Saya biasa pulang terakhir kalau diundang,... tanyalah sama Opa Tjiptadinata. Hehehehe. Yah, intinya berat sebenarnya meninggalkan kopdar. Tapi, berat juga saya maju ke medan jadi pembicara tetapi tidak tahu audiens-nya. Niat belajar itulah yang mendorong saya nebeng pak Thamrin, ke TWC 4 di hari pertama.

Minder. Itu yang malah saya rasakan saat melihat para pemateri yang KEREN habis. Thamrin Sonata? Siapa tidak kenal di Kompasiana? Komunitas penulis saya rasa cukup mengenalnya. Pak Sukani, ternyata seorang narasumber yang lebih malang melintang lagi di dunia guru Ngeblog. Saya belajar dari mereka. Saya ini siapa?

Ditambah kecemasan salah kostum di antara guru-guru yang berbusana muslim, saya malah pakai kaus dan celana ketat, yang sudah berulangkali saya diomelin sahabat saya, Lilis Trisnawati mengenainya. Plus kehujanan tak bisa pulang ke kost.

Belajar dan belajar itulah kegiatan saya. Kapanpun, di manapun, bagaimanapun. Melalap buku dan mendengarkan orang lain.

Menyimak Kak Kusumo yang rendah hati, belajar dari pak Hernowo, manfaat membaca dan membuat bacaan kita bermanfaat bagi orang lain, memacu saya.

Salah satu pertanyaan dalam TWC 4 pada pak Hernowo, mengenai memilah bacaan sempat menusuk saya. "Bolehkah kita membaca, bacaan yang ditulis oleh penulis yang tidak seiman? Dapatkah itu merusakĀ  iman kita?"

Itu terkenang pagi hari ini selagi saya menulis ini. Saya ini tipikal pembaca segala. Kalau ada pemakan segala (omnivora) saya pembaca segala.

Harry Potter, Da Vinci Code, itu adalah buku-buku yang sempat saya dengar diharamkan oleh sejumlah teman saya. Namun buku-buku itu saya lalap juga. Buat saya, pembelajarannya berbeda. Saya menemukan hal-hal menarik seperti persahabatan, keindahan dari buku-buku itu.

Content-nya mengajarkan sihir? (Harry Potter) Mungkin. Tapi saya bukan penyihir, dan ngga tertarik dengan bagian sihir-sihirannya. Saya senang menyimak persahabatannya. Trus boleh tidak membaca content semacam itu?

Pembelajar bisa memilah bacaannya. Membuat klasifikasi, dan tidak ragu-ragu berbagi.

Pembelajar bisa berbeda pendapat dan tidak menarik perbedaan pendapat sebagai sesuatu yang personal.

Menikmati kelas Pak Sukani, Pak Hernowo, dan Kak Kusumo, bahkan sempat mengikuti kelas Pak Namin.

Kami memiliki kesamaan pandangan mengenai pendidikan.

Pendidikan bukan bicara hanya sekedar ilmunya, namun juga keteladanan. Sebelum mulai menjadi pendidik, seseorang harusnya sudah belajar dahulu. Sudah memberikan contoh.

Kalau kita mau meminta anak didik kita menulis, sudahkah kita sendiri menulis?

Kalau kita meminta anak didik kita antri, sudah bisakah kita antri?

Kalau kita meminta anak didik kita memperhatikan saat kita mengajar, sudahkah kita memperhatikan saat orang lain berbicara?

Keteladanan adalah bahasa universal. Sama seperti kasih, rasa hormat, dan kepedulian.

Menjadi narasumber di TWC 4 itu sesuatu sekali. Berbagi inspirasi dan menemukan inspirasi. Yuk nulis.

Salam edukasi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun