Tempo hari ketika sedang jalan-jalan di Instagram, lewatlah sebuah video yang menyadarkan saya akan sesuatu. Memang bukan sesuatu yang penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sepintas lalu justru terkesan receh, tetapi tidak sereceh itu juga. Karena kenyataannya, sesuatu itu dapat menjadi petunjuk kisaran usia seseorang dan pergeseran selera zaman.
Tak lain dan tak bukan, sesuatu yang saya maksudkan adalah nastar. Iya, nastar. Kue kering manis isi selai nanas itu. Yang disebut-sebut sebagai kue khas Indonesia. Yang entah sejak kapan sangat eksis tatkala Lebaran.
Video yang saya tonton itu menampilkan celotehan si pemilik akun. Kurang lebih dia mengatakan begini, "Kalian sadar enggak? Kalau nastar zaman sekarang tidak pakai cengkeh? Sejak kapan nastar tidak lagi pakai cengkeh?"
Mendengar perkataan tersebut, seketika ingatan saya melayang ke masa kuliah. Seingat saya tatkala itu nastar sedang mulai naik daun. Namun, ketersediaannya belum merajalela seperti sekarang. Seingat saya pula, semua nastar masih premium citarasanya. Belum ada edisi yang bisa dimurahkan harganya.
Adapun yang paling ikonik, nastar-nastar tatkala itu selalu hadir dengan aksesoris cengkeh. Sebatang cengkeh ditancapkan di permukaan nastar. Bikin cantik penampilan si nastar. Bisa juga berfungsi sebagai pegangan ketika kita hendak mencomotnya dari wadah.
Perlu diketahui bahwa cengkeh tersebut tidak dimakan. Akan tetapi, kehadirannya tak sia-sia karena sesungguhnya tidak semata-mata untuk hiasan dan pegangan. Si cengkeh memberikan aroma khas pada nastar. Plus, rasa hangat dan pedasnya (pedas yang samar-samar) dapat mereduksi rasa manis berlebihan pada nastar.
Soal manis berlebihan ini sebenarnya mungkin relatif. Bagi penyuka kudapan manis, ukuran manis nastar tentu sudah pas. Sementara bagi yang kurang suka kudapan manis, rasa manis nastar bisa jadi terasa agak berlebihan. Kiranya untuk memecah citarasa manisnya itulah, si nastar diberi topping cengkeh.
Hmm. Sembari menyelesaikan tulisan ini saya jadi terbayang-bayang sensasi rasa nastar pertama yang saya cicipi. Yang tatkala itu saya temukan di meja ruang tamu ibu kos adik lelaki saya. Saya tidak nyolong lho, ya. Saya mencicipinya sebab dipersilakan oleh tuan rumah.
Kembali pada video yang saya tonton. Setelah membaca komentar-komentar, saya sampai pada kesimpulan bahwa warganet yang menanggapi video tersebut terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menanggapi dengan semangat nostalgia. Sekubu dengan si pembuat VT yang mempertanyakan raibnya nastar dengan cengkeh.
Kelompok kedua menanggapi dengan nada keheranan. Nastar pakai cengkeh? Dalam bayangan mereka, cengkehnya ikut dilumatkan dan dicampurkan ke dalam adonan kulit nastar. Beruntung ada warganet yang berbaik hati untuk menjelaskannya.
Di situlah saya tersadarkan bahwa mereka yang bernostalgia merupakan generasi X, generasi milenial, dan sebagian generasi Z. Mereka itulah yang tumbuh dewasa bersama nastar bercengkeh. Sementara bagi warganet dari kalangan generasi Z akhir-akhir dan generasi alpha, informasi mengenai nastar bercengkeh adalah pengetahuan baru.