Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Puisi dan Penyair Itu Ya Chairil Anwar

3 Agustus 2022   00:20 Diperbarui: 3 Agustus 2022   00:25 306 23
Hidup hanya menunda kekalahan!
(Chairil Anwar "Derai-derai Cemara")

Spontan saya mendesiskan kalimat itu manakala mendengar kabar kematian seseorang. Yang kebetulan saya ketahui bahwa sebelumnya, ia telah sedemikian keras bertarung melawan kerasnya kehidupan. Kemudian saya akan terdiam lama sebab terkurung aneka rupa pikiran dan perasaan.

Lain waktu ketika membaca curhatan medsos seseorang yang sedang kangen pada kekasihnya nun jauh di sana, spontan saya bisa berkomentar begini.

Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
(Chairil Anwar "Cintaku jauh di pulau")

Tak peduli kekasihnya di seberang pulau atau cuma di kabupaten sebelah, komentar saya sudah paten seperti itu.

Pada kesempatan berbeda, hanya gara-gara melihat tali jemuran berwarna, saya pun bisa mendadak merapalkan ini.

Bersandar pada tali warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
(Chairil Anwar  "Sajak Putih")

Jika berkesempatan menikmati senja di mana pun, baik di atap rumah saat mengambil jemuran maupun di tempat lain yang tak ada romantis-romantisnya, tetap saja spontan di benak saya melintas kata-kata manis berikut.

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
(Chairil Anwar, "Senja di Pelabuhan Kecil")

Jangan tanyakan lagi apa yang saya ingat tatkala sore dan hujan. Sudah pasti dalam kondisi begitu saya auto menggumamkan larik puitis ini.

Gerimis mempercepat kelam
(Chairil Anwar, "Kepada Sri Ayati").

Kemudian nyambung enggak nyambung dengan makna puisinya, suasana malam yang sunyi pun bisa menyebabkan saya mengeluarkan desisan andalan.

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
(Chairil Anwar, "Krawang-Bekasi).

Lihatlah. Sungguh tak bisa diingkari bahwa saya senantiasa dihantui puisi-puisi Chairil Anwar. Namun, tunggu dulu. Anda tak perlu buru-buru menyimpulkan kalau saya adalah penggemar fanatiknya.

Iya, sih. Pada dasarnya saya memang suka puisi-puisi karya penyair bohemian tersebut. Akan tetapi, saya tak pernah bisa menentukan puisi mana yang terfavorit di hati. Itulah sebabnya saya selalu tidak dapat menjawab jika ditanya, "Mana puisi Chairil Anwar yang paling kausukai?"

Demikian pula jika ditanya, "Alasan apa yang membuatmu ngefans kepada Chairil Anwar?"

Ngefans? Saya tidak merasa ngefans dengan penyair yang dijuluki Si Binatang Jalang itu. Saya memang tahu, bahkan cenderung hafal, banyak puisinya. Plus mengagumi diksi-diksi pilihannya.

Akan tetapi, saya tak berani memproklamasikan diri sebagai penggemar beratnya. Tak tahu diri banget kalau sampai berani. Saya ini 'kan tidak ahli tentang Chairil Anwar. Pengetahuan saya tentangnya beserta karya-karyanya pun amat terbatas.

Jangankan ahli. Beli buku kumpulan puisinya atau buku yang membahas kepenyairannya saja tak pernah. Nah 'kan? Penggemar berat macam apa itu?

TAHU DARI MANA?

Lalu, dari mana saya mengetahui puisi-puisi Chairil Anwar? Dari hasil baca dan dengar di mana-mana, dong.

Jangan lupa. Saya adalah remaja 90-an dan tatkala itu puisi-puisi Chairil Anwar kerap dijadikan materi pelajaran untuk bidang studi bahasa dan sastra Indonesia. Mulai dari tingkat SD sampai SMA. Terlebih puisinya yang bertema perjuangan seperti "Diponegoro" dan "Krawang-Bekasi".

Lebih dari itu, puisi-puisi Chairil Anwar acap kali menjadi puisi yang wajib dideklamasikan dalam lomba-lomba deklamasi sekecamatan. Walaupun tidak bernyali untuk menjadi peserta, saya adalah penonton setia. Alhasil, ikut hafal tanpa sengaja.

Bayangkan saja kalau yang dibaca puisi yang itu-itu melulu. Sementara pesertanya perwakilan siswa SD sekecamatan. Berasal dari 30 desa dan tiap desa rata-rata punya dua SD (biasanya SDN dan MIN). Adapun tiap sekolah minimal wajib mengirimkan dua wakil (satu putra, satu putri).

Mungkin Anda sekalian menganggap saya terniat sekali berlama-lama nongkrongin orang sekecamatan berdeklamasi. Yang biasanya sejak babak penyisihan hingga final butuh dua atau tiga hari. Dari pagi sampai siang.

Hmm. Bagaimana, ya? Sebenarnya sih selain karena suka puisi, saya betah berlama-lama itu karena lokasi lomba memang cuma di seberang rumah.  Ya sudah. Ketimbang duduk-duduk sendiri di rumah dan bosan, mumpung ada keramaian saya memilih bergabung saja dengan keramaian itu.

Dampaknya pastilah ikutan hafal puisi Chairil Anwar yang dilombakan (dideklamasikan). Yang kemudian seiring waktu berjalan, karena makin sering berjumpa dengan karya-karya Chairil Anwar melalui referensi lain selain buku pelajaran, "hafalan" tersebut lumayan terjaga hingga sekarang.

LAIN DULU LAIN SEKARANG

Sebelum menulis artikel ini, iseng saya bertanya kepada anak, "Kamu tahu Chairil Anwar gak?"

Ia menggeleng-geleng pelan dengan tatapan mata bingung. "Itu siapa? Kayaknya sih pernah dengar namanya. Tapi siapa, ya?"

Semula saya pikir ia ngerjain saya seperti biasa. Eh, ternyata betul-betul tidak tahu. Hadeeeh. Penyair sekaliber Chairil Anwar, lho. Tersadarlah saya bahwa nama Chairil Anwar memang cenderung asing bagi genzy (generasi Z). Eranya berbeda.

Ini berkebalikan dengan generasi zadoel. Para eyang dan orang-orang yang segenerasi dengan saya pada umumnya langsung konek begitu disebut nama Chairil Anwar. Meskipun tidak menggemari sastra terkhusus puisi, mereka rupanya tahu sang pelopor angkatan '45 itu. Bagi mereka, puisi dan penyair itu ya Chairil Anwar.

"Chairil Anwar? O, ya. Yang nulis puisi itu 'kan?"

Yeah? Sejauh pengalaman saya, dahulu orang-orang awam sastra (puisi) pun tahu Chairil Anwar. Idem ditto dengan saya, mereka tahunya dari buku mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Cuma bedanya, saya kemudian lanjut baca-baca tentang Chairil Anwar, sedangkan mereka tidak. Wah, wah, wah. Saya mendadak merasa tiada kawan, nih.

Mampus kau dikoyak-koyak sepi
(Chairil Anwar, Sia-sia")

Muehehehe ....

UNIKNYA "DOA"

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, tak ada satu pun puisi Chairil Anwar yang menjadi puisi favorit di hati. Saya bingung menentukan satu pilihan. Namun, ada satu puisinya yang saya nilai unik. Puisi yang saya maksudkan berjudul "Doa".

Uniknya di mana?

Begini. Silakan ingat-ingat barang sejenak. Bukankah Chairil Anwar tak pernah dikenang sebagai sosok yang religius? Alih-alih dikenal religius. Yang ada justru dikenal secara kebalikannya.

Akan tetapi, resapilah puisinya yang satu ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun