Uang segitu saya alokasikan sebagian besar untuk kebutuhan rumah. Kebetulan waktu itu masih bujang dan bapak sudah tak bekerja. PHK sejak 1998 saat krisis moneter melanda Indonesia.
Telepon rumah saya yang bayar, demikian juga tagihan air dan kebutuhan lain. Kadang menyelipkan uang juga buat ibu sebagai tambahan belanja dan kebutuhan dapur. Buat saya cukup sekadar pulsa dan ongkos.
Kadang setiap habis gajian saya membawa keluarga makan di luar. Sekadar menikmati bakso dan kudapan lain. Saya senang karena punya penghasilan sendiri. Cuma, suatu waktu, bapak, Papi kami memanggilnya, mengatakan kalau gaji itu tak ia inginkan sekarang. Yang ia inginkan saya segera menyelesaikan kewajiban sebagai seorang mahasiswa: menjadi sarjana.
Saya sebetulnya paham soal itu. Saya tahu itu kewajiban saya, menyenangkan orangtua. Saya juga tak bermaksud menunda-nunda. Cuma persoalannya saya tak mau setiap bulan tak pegang uang. Saya mau punya kontribusi dan keluarga. Apalagi saya anak pertama. Punya dua adik yang masih sekolah. Saya mesti jadi teladan yang baik. Papi sering menasihati dan saya acap jengah soal itu. Apalagi kalau raut mukanya tak senang saya banyak keluar untuk bekerja. Hubungan saya dan Papi bahkan sempat merenggang. Ia acap marah karena saya tak segera menyelesaikan studi. Ia bahkan mengancam, "Kalau kamu mau menikah sebelum kelar kuliah, saya tidak akan datang!"
*
Rupanya tak selamanya gaji pertama itu bikin bangga orang tua. Ada hal-hal prinsip yang menurut orang tua wajib ditunaikan lebih dahulu. Dalam konteks saya di atas, menyelesaikan studi ternyata lebih membanggakan mereka ketimbang gaji pertama. Ini menjadi pelajaran bahwa uang tak selamanya menyelesaikan masalah. Perihal kebanggaan anaknya menjadi sarjana lebih utama rupanya.
Saya akhirnya selesai juga dalam studi. Tak lama dari situ menikah, berkeluarga, dan punya anak. Sudah tak terhitung lagi gaji yang didapat. Setelah selesai kontrak sebagai editor di Koak, saya pun diterima bekerja di sebuah perusahaan media massa.
Dan memang benar, orang tua tak selamanya senang nilai kasih sayang anaknya diukur dengan uang, gaji, honor, atau bonus lain. Mereka tetap mengutamakan titel tertentu. Sebuah kewajaran saya kira, apalagi buat orang tua yang tidak memiliki banyak anak. Frame berpikirnya memang seperti itu, meskipun banyak pula sarjana yang tak beroleh kesempatan kerja yang layak dan manusiawi.
Itulah pengalaman gaji pertama yang tak membuat orang tua bangga. Semoga kita bisa mengambil ibrah dari pengalaman ini. Wallahualam bissawab.