Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Indonesia, Dipersimpangan Rechtsstaat & The Rule Of Law

9 Oktober 2014   20:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:43 1380 0
Dewasa ini hukum diindonesia seakan lemah dan tidak berdaya untuk memberikan hukuman yang adil dan setimpal  terhadap koruptur dan kasus-kasus tindak pidana lainnya. Para pencari keadilan seakan gigit jari dan merasa miris bersedih hati, ketika Para penegak hukum cenderung menggunakan paham legisme yaitu paham yang menganut bahwa keadilan itu adalah hukum yang tertulis. dalam pandangan  legisme seakan akan hukum yang benar adalah hukum yang tertulis.
karena pada masa lalu indonesia lama dijajah belanda dan indonesiapun mewarisi sistem hukum hindia belanda ini bertolak belakang dengan akar budaya hukum indonesia yakni hukum tidak tertulis maka itu selalu ada tarik menarik. Karena itu sejak dulu indonesia menyatakan  dalam memutus perkara hakim berpedoman pada UU, Tetapi hakim juga boleh menggali sendiri nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat.
Pada masa lalu didalam penjelasan UUD 1945, secara resmi disebutkan bahwa indonesia menganut rectsstaat, akan tetapi semenjak amandemen UUD peniadaan istilah rechtsstaat dicoret dan subtansinya dituangkan kedalam pasal 1 ayat (3) menjadi "indonesia adalah negara hukum". Maksud tidak dicantumkan istilah rechtsstaat supaya indonesia bisa menggunakan rechtsstaat, bisa juga menggunakan  the rule of law. Dengan demikian  indonesia bisa menganut paham legisme dimana kebenaran itu ada di Undang- undang, tapi juga menganut  paham the rule of law bahwa hakim bisa mencari keadilan sendiri tanpa tersandera Undang-undang. Jadi lebih fleksibel.
Perpaduan antara kedua paham ini akhirnya dapat kita lihat sendiri dalam putusan Mahkamah Agung (MA) memperberat vonis terhadap terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dalam kasus korupsi dan pencucian uang dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. Selain itu, LHI juga dicabut hak politiknya serta harus membayar Rp 1 miliar.
Putusan MA dapat menjadi bahan rujukan bagi pengadilan atau yurisprudensi bagi hakim dalam membuat putusan, serta Putusan MA soal hukuman tambahan yang mencabut hak politik seseorang karena terbukti melakukan kejahatan korupsi bisa menjadi benchmark (tolak ukur) dan rujukan bagi pengadilan.
Putusan MA ini merupakan terobosan yang luar biasa bagi dunia hukum indonesia. Putusan yang sangat berani mengakhiri kekakuan  terhadap kasus-kasus yang sangat rumit. Putusan MA ini menggandung hakikat hukum progresif yaitu memberlakukan UU sepanjang itu diyakini memberi rasa keadilan dan menggali keadilan sendiri dari denyut kehidupan masyarakat jika UU yang ada tidak memberi rasa keadilan.
Saya sebagai putra bangsa indonesia mengapresiasi dan mendukung pencabutan hak politik bagi para koruptor yang menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya. hal itu dapat mengakomodasi fakta atas terjadinya perilaku pejabat publik yang seringkali memanfaatkan kekuasaannya untuk bertindak melawan hukum dan mengadakan transaksional.
Didalam Putusan ini menggandung makna bahwa hukum di-indonesia haruslah pro-rakyat dan pro-keadilan. Hukum harus berpihak kepada rakyat bukan berpihak kepada koruptor, hukum harus didudukkan diatas peraturan. Para penegak hukum harus berani menerobos kekakuan peraturan jika memang teks itu mencederai rasa keadilan rakyat.
Doa saya dan para pencari keadilan semoga para penegak hukum Polisi, jaksa dan hakim lebih berorientasi pada substantial justice dari pada procedural justice. Serta berani membuat terobosan dalam pemaknaan hukum dan cara berhukum agar supaya spirit hukum progresif dibumikan dan dipraktekan Dalam menangani kasus-kasus hukum. *AST
Yogyakarta, 9 okt 2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun