Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Kembali Saja ke "Khittah", Bela Masa Depan Anak

12 September 2019   11:22 Diperbarui: 12 September 2019   11:39 83 5
Kita perlu mencari tahu, gambar yang menyampaikan pesan merokok bisa berakibat fatal, efektif menekan jumlah perokok. Faktanya, tidak sedikit anak di bawah umur menjadi "perokok pemula".

Pemasangan gambar yang menakuti para perokok itu "melanggar" logika penjualan. Sebuah produk yang dikonsumsi, menampilkan risiko terburuk bagi konsumennya? Barangkali ada yang tidak beres dengan cara berpikir kita.

Akal sehat kita iseng bernyanyi. Bagaimana jika visual dari risiko tersebut juga diterapkan pada kemasan produk konsumsi lainnya, seperti gula, kopi, minuman bersoda? Pikiran nakal yang lain, misalnya, membayangkan ada peringatan di kaca depan mobil: "Mengendarai Mobil Bisa Menyebabkan Kecelakaan dan Kematian".

Ini bukan membela rokok dan membenarkan para perokok. Simulasi ini ingin menggoda cara berpikir yang kadang belum sepenuhnya adil. Kepada sesuatu yang terlanjur antipati, kita total menolaknya. Kita tidak segan mengebiri akal sehat.

Yang tengah kita hadapi adalah turbulance cara berpikir. Kuda-kuda akal sehat menjadi lumpuh.

Melalui perspektif turbulance kita mengkritisi polemik yang kini terjadi antara PB Djarum dan KPAI. Polemik ini merupakan akibat dari akal sehat yang mengalami gonjang-ganjing turbulance.

Indikasinya jelas. Alih-alih duduk bareng menarasikan kepentingan nasional yang lebih substansial, pihak yang berkepentingan getol menggalang dukungan. Sementara dialog dan diskusi menemui jalan buntu. Kedua pihak sama-sama mempertahankan pendapatnya.

Saling menggalang dukungan mencerminkan rapuhnya inisiatif untuk menyatukan dua pendapat yang berbeda. Upaya mediasi tak kunjung menemukan titik temu.

KPAI menilai Djarum telah melanggar Pasal 47 (1) dan 37 (a) PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Aditif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Djarum juga dianggap melanggar Pasal 76 UU Perlindungan Anak serta Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 315 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Publik pun bereaksi. Jagat media sosial heboh. Jor-joran tanda pagar tak terbendung.

Kalau melarang rokok jangan setengah-setengah, yang total sekalian. Demikian pula mengurus dan melindungi anak jangan "tebang pilih" kasus.

Anehnya, selama ini rokok dikutuk dan sekaligus dinikmati pajaknya. Urusan perlindungan anak pun setali tiga uang. Eksploitasi anak bukan hanya ditemui saat anak memakai kaos berlogo perusahaan rokok.

Anak-anak harus diselamatkan dari zat adiktif rokok. Kita sepakat itu. Satu dari lima remaja Indonesia usia antara 13 dan 15 tahun merokok. Angka paling tinggi di Asia Tenggara.

Namun, ada zat "adiktif" yang disebarkan melalui tayangan televisi. Paparan sinetron dan tayangan televisi yang tidak bermutu tak kalah berbahaya.

Bahkan, anak yang bebas melihat tayangan televisi di kamar berpotensi memiliki kebiasaan baru. Dari 700 siswa sekolah menengah berusia 12 sampai 14 tahun, ditemukan bahwa mereka yang memiliki TV di kamar tidur dua kali lebih mungkin untuk mulai merokok.

Kita tengah dihadang pekerjaan besar yang tidak cukup diselesaikan melalui regulasi, undang-undang atau menggalang dukungan.  

Setiap pihak hendaknya meletakkan ego kepentingannya. Kembali saja ke khittah, yakni membela dan memperjuangkan masa depan anak. Bukan sebagai atas nama atau demi kepentingan. Namun, menjalaninya secara jujur, terbuka dan seimbang.

Setiap institusi meletakkan dirinya pada syariat perjuangan dan thariqah pembelaan yang bertemu dalam satu visi masa depan anak.

Kalau menggalang dukungan terus dan bertahan pada argumen pembenaran, kapan ketemu jalan tengahnya?[]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun