Beberapa waktu lalu, Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto terlihat marah-marah kepada sejumlah media arus utama di Indonesia. Ia bahkan berani menghardik beberapa wartawan dengan sebutan tak profesional.
Pasalnya, media-media di Indonesia dianggapnya tak memberitakan Reuni 212. Menurut Prabowo, Reuni 212 yang dihadiri 11 juta orang itu harusnya diberitakan masif dan tanpa jeda. Juga harus menjadi headline.
Kontan saja, pernyataan Prabowo ini ditanggapi banyak pihak. Wakil Direktur Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Lukman Edy, menyatakan bahwa pemberitaan Reuni Aksi 212 di media mainstream telah sesuai fakta sebenarnya.
Media memang seharusnya tidak bisa didikte. Kemarahan yang ditunjukkan Prabowo itu perlahan menunjukkan karakternya yang ingin mendikte dan mengarahkan pemberitaan media seperti era Orde Baru. Ini jelas watak otoriter.
Di sisi lain, Ketua DPP Partai NasDem Irma Suryani Chaniago menyebutkan bahwa Reuni 212 memang tidak memiliki substansi, sehingga sangat wajar jika tidak diberitakan media.
Sikap marah Prabowo di atas justru menunjukkan bahwa Reuni 212 bermuatan politis. Khususnya untuk menyebarluaskan kepentingan politik pasangan Prabowo-Sandi. Tendensi politis tak bisa disangkal, baik oleh Prabowo maupun panitia Reuni 212.
Dengan peristiwa di atas, kita membawa kesimpulan bahwa memang benar Reuni 212 itu ditunggangi kepentingan politik Prabowo-Sandi. Bukan soal membela agama.
Kedua, sekarang kita bisa menjumpai watak asli Prabowo yang otoriter dan mau menang sendiri, dimana jika kepentingannya tak diberitakan, maka dia marah-marah. Ia ingin menyetir media sesuai keinginannya saja.
Dengan dua kesimpulan itu, masih yakin ingin mengembalikan Indonesia ke Orde Baru? Tentu saja tidak.