Ternyata apa yang saya pikirkan salah. Mi ini memang terasa lebih pedas karena oleh penjualnya ditambah cabe yang sudah dihaluskan. Tetapi bagi saya perbedaan miedes dengan mi umumnya terletak pada warna mi.
Mi berbahan dasar tepung gandum nampak lebih kuning karena dalam membuat mie dari tepung gandum dan ada yang dicampur dengan telur. Sehingga warna kuning telurnya melekat di mi.
Ini tidak lain dari sifat atau bawaan dari warna ketela pohon. Tepung tapioka atau tepung ketela tidak seputih tepung gandum karena ketela pohon walau putih namun jika mendapat perlakuan tertentu warnanya berubah. Coba rebus ketela pohon jika sudah empuk warnanya berubah.
Desa yang sejatinya merupakan sentra pembuatan keramik atau gerabah di Bantul. Bukan Kasongan, sebab kasongan lebih tepat disebut sebagai desa tempat menjual keramik atau gerabah dan show room raksasa bagi para pengrajin keramik atau gerabah.
Jika ingin menikmati lethek tidak ada salahnya mampir ke pengrajin keramik atau gerabah. Siapa tahu muncul inspirasi untuk menghias rumah atau kantor dengan keramik buatan pengrajin di Pundong Bantul. Hitung-hitung memberi pemasukan kepada mereka di masa sulit karena pandemi Covid-19.
Apalagi ketela pohon mudah dijumpai di daerah Gunung Kidul tidak jauh dari Bantul. Bahkan di perbatasan Kota Yogyakarta dan Bantul terdapat Pasar Telo. Pasar yang khusus menjual berbagai macam ketela.
Rasa bangga muncul karena warga Bantul kreatif dan pintar berinovasi. Tidak hanya dalam produk handycraft tetapi juga dalam persoalan kuliner dengan memanfaatkan hasil sumberdaya alam sekitar berupa ketela, yang diubah menjadi tepung tapioka untuk menjadi bahan dasar dan utama Mi Lethek.