Dikenal sebagai Kota Seribu Candi, Kabupaten Klaten menyimpan beragam sejarah dan tradisi yang layak untuk diperkenalkan. Terletak di Provinsi Jawa Tengah, wilayah Kabupaten Klaten di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur, Kabupaten Gunung Kidul di sebelah selatan, dan Kabupaten Sleman di sebelah barat. Klaten terdiri dari 391 desa yang tersebar di 26 kecamatan. Wedi merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten yang memiliki 19 desa, di antaranya Desa Jiwo Wetan.
Jiwo Wetan merupakan desa administratif dengan infrastruktur dasar pendidikan dan perhatian terhadap isu longsor. Secara geografis, Jiwo Wetan berbatasan dengan pegunungan, seperti Gunung Cakaran dan Gunung Merak, serta berdekatan dengan desa-desa lain, seperti Kadibolo, Melikan, Trotok, Brangkal, Paseban, dan Krakitan. Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk Desa Jiwo Wetan adalah 1.834 jiwa dengan rincian laki-laki sebanyak 890 jiwa dan perempuan sebanyak 944 jiwa.
Dalikir Robi Nugroho, Kepala Desa Jiwo Wetan menyebutkan bahwa nama Jiwo Wetan berasal dari kata "wiji" yang berarti biji dan "awoh" yang berarti berbuah. Dikisahkan, dahulu Ki Ageng Pandanaran II, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bayat, pernah singgah di sebuah pemukiman. Suatu ketika ada seorang petani yang sedang menanam mentimun dengan membawa anaknya yang masih kecil. Anak tersebut menangis karena meminta buah mentimun. Si petani bingung karena ia baru saja menanam biji mentimun tersebut. Kemudian datanglah Sunan Bayat, "Kasihan anakmu meminta mentimun. Lihatlah di belakangmu". Ternyata mentimun yang baru saja ditanam sudah berbuah. Semenjak kejadian tersebut, si petani menjadi santri Sunan Pandanaran dan dimakamkan di daerah tersebut yang kini dikenal dengan desa Jiwo.
Jiwo Wetan terbagi menjadi dua dusun, yaitu Dusun Jiwo Wetan dan Dusun Sekarbolo. Dusun Sekarbolo, Jiwo Wetan ada cerita unik mengenai asal-usul namanya. Nama Sekarbolo sendiri berasal dari kata "sekar" yang berarti bunga, sementara "bolo" yang berarti pasukan, paseduluran atau persaudaraan. Dahulu, ketika warga diundang pengajian, pasukan atau kelompok ini tidak ada yang hadir sehingga kekompakan mereka justru lebih terkenal dalam hal-hal di luar kegiatan religi. Kemudian pernah terjadi peperangan di daerah Mogol, dan pasukan ini dikenal sebagai pasukan yang gigih dan berhasil memenangkan pertempuran tersebut. Meskipun dikenal sebagai prajurit yang tangguh, mereka kerap dianggap berandalan karena sikap mereka yang enggan menghadiri pengajian. Konon, para wali menyebut Sekarbolo sebagai kembangnya para prajurit yang memiliki keberanian besar, namun wataknya keras. Kebersamaan di antara pemuda-pemuda tersebut tetap kuat, meskipun terbentuk blok-blok atau kelompok kecil yang memiliki komunitas masing-masing. Ketika muncul permasalahan, solidaritas dan kekompakan mereka akan semakin kuat. Karena itulah, nama Sekarbolo melekat hingga saat ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap daerah memiliki ciri khas dan kebudayaannya tersendiri. Seperti halnya Dusun Sekarbolo ialah sebuah kantung budaya yang hidup, di mana tradisi dan seni diwariskan dari generasi ke generasi. Kekayaan budayanya terpancar melalui beragam seni budaya pertunjukan yang tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana pelestarian nilai-nilai luhur dan identitas desa. Salah satu kebudayaan tersebut berupa seni Laras Madyo, seni Karawitan, Ketoprak, Reog, Hadroh dan lain sebagainya. Setiap kebudayaan tersebut memiliki nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.Â
Selain laras madya juga terdapat seni karawitan, karawitan adalah seni musik tradisional Jawa yang dimainkan menggunakan seperangkat gamelan yang terbuat dari perunggu atau besi. Dalam kegiatan seni karawitan di Dusun Sekarbolo dimainkan oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari usia anak-anak, remaja, hingga dewasa. Karawitan bukan hanya sekadar musik pengiring, tetapi juga ekspresi spiritual yang mendalam, mencerminkan ketenangan dan kehalusan budi pekerti masyarakatnya. Latihan rutin dan pertunjukan karawitan sering diadakan, menjaga agar seni ini tetap hidup dan relevan di tengah modernisasi. Selain seni musik karawitan di Dusun Sekarbolo juga terdapat seni musik berupa hadroh yang berisi lantunan selawat dan puji-pujian untuk Nabi Muhammad Saw. dengan iringan alat musik rebana.Â
Di Dusun Sekarbolo juga terdapat kelompok ketoprak lokal yang menjadi wadah bagi masyarakat untuk berekspresi, melatih kemampuan akting, sekaligus menanamkan nilai-nilai kepahlawanan, kejujuran, serta kebersamaan kepada penonton. Pertunjukan ketoprak sering menjadi magnet dalam acara-acara desa, menyatukan warga dalam tawa dan renungan. Selain itu Seni Reog juga terkandung di didalamnya, dimana melambangkan kekuatan, keberanian, dan semangat pahlawan.Â
Selain menjaga kekayaan seni tradisional tersebut, masyarakat Sekarbolo Jiwo Wetan juga menjalani kehidupan sehari-hari dengan kondisi yang beragam. Dalam bidang ekonomi, sebagian masyarakat bekerja sebagai petani dikarenakan Klaten dikenal dengan wilayah yang memiliki hamparan  tanah yang subur, kemudian yang lain bekerja sebagai pengrajin, buruh tani, dan berdagang kecil-kecilan. Di sisi lain, kehidupan sosial di desa ini  masih kental  dengan tradisi Jawa turun temurun, seperti tahlilan dan selametan.Â
Dalam keseharian, warga sering melaksanakan kegiatan gotong royong, mulai dari membersihkan lingkungan sekitar dan membantu ketika ada tetangga yang memiliki hajatan. Dari nilai kebersamaan tersebut bisa terlihat bagaimana kedekatan antar masyarakat tanpa melihat perbedaan yang ada baik status, usia, maupun agama. Sikap ini mencerminkan bagaimana konsep moderasi beragama dijalankan dengan baik di desa ini, dengan mengedepankan toleransi dan menjaga satu sama lain.
Desa Jiwo Wetan bukan hanya sekadar titik di peta Klaten, tetapi juga rumah bagi ratusan keluarga yang hidup berdampingan dengan alam dan sejarah. Di balik keheningan perbukitan dan semangat gotong royong warganya, tersimpan harapan besar: menjadikan desa ini tempat yang nyaman, produktif, dan membanggakan. Jiwo Wetan terus tumbuh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara budaya dan sosial. Masa lalu menjadi pijakan, masa kini menjadi penggerak, dan masa depan adalah harapan yang terus diperjuangkan.