Dalam setiap kisah pembangunan suatu negara, lazimnya akan selalu diwarnai dengan plot mengenai kelestarian alam yang harus bertarung melawan kekuatan faktor ekonomi yang jauh lebih digdaya. Layaknya David versus Goliath, tatkala dihadapkan pada kelestarian lingkungan hidup, aspek ekonomi nyaris akan selalu menjadi pemenang atau dimenangkan.
Mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan rakyat, kelestarian alam dan keseimbangan ekologi sering kali tumbang di medan konflik kepentingan. Praktis, isu tentang lingkungan hidup hanya akan menjadi pilihan, dan tidak benar-benar dijadikan prioritas.
Dalam pengelolaan sumber daya alam, problem trade off masih kerap dijumpai pada wilayah kebijakan yang sarat akan friksi-friksi kepentingan. Sesuai dengan prinsip trade off, suatu hal yang dipilih dan diprioritaskan akan ditukar dengan aspek lainnya yang harus dikorbankan.
Karena hanya berfungsi sebagai sarana, bukan tujuan inti pembangunan, daya dukung lingkungan lah yang mau tidak mau harus dijadikan "tumbal". Adapun kerusakan lingkungan hidup dianggap sebagai konsekuensi logis yang harus ditanggung bersama-sama atas segala manfaat pembangunan ekonomi yang dinikmati masyarakat luas.Â
Prinsip trade off ini memaksa kita untuk memilih hanya salah satu kebijakan saja: pembangunan ekonomi atau kelestarian lingkungan hidup. Titik. Tidak mungkin memilih keduanya, lantaran opsi yang satu dapat menggerus manfaat dari opsi yang lain.
Sebagai dampaknya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sepanjang tahun 2020, telah terjadi 5.402 bencana alam di Indonesia. Kiamat kecil itu didominasi oleh bencana alam hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Adapun perubahan iklim masih menjadi penyebab utama terjadinya bencana hidrometeorologi. Sementara perubahan iklim sendiri lebih banyak disebabkan ulah manusia yang tak mengindahkan daya dukung lingkungan dalam proses pembangunan. Fakta itu tentu menjadi alarm yang berbahaya bagi atmosfer ekonomi global, khususnya Indonesia.
Akibat perubahan iklim, menurut studi dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), NKRI berpotensi mengalami kerugian mencapai Rp544 triliun sepanjang 2020–2024. Potensi kerugian ekonomi tersebut termasuk kerugian yang diakibatkan kerusakan kapal, naiknya muka air laut, turunnya ketersediaan air, merosotnya produksi padi, dan peningkatan berbagai potensi penyakit.
Kesadaran soal perlunya menjaga faktor non-ekonomi, terutama aspek sosial dan ekologi, baru dipandang mendesak untuk diperhatikan usai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) mulai disuarakan di pentas-pentas global.