Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Singlisme, Bagaimana Dunia Mendiskriminasi Kaum Jomlo

16 Juni 2022   14:30 Diperbarui: 17 Juni 2022   03:30 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi singlisme, diskriminasi yang dialami kaum jomlo. | Sasha Freemind/Unsplash.com

Tak hanya kerap dijadikan bahan pergunjingan, spesies jomlo juga acap kali mengalami diskriminasi. Tak seperti rasisme, seksisme, atau diskriminasi lainnya yang divonis sebagai aksi kejahatan, singlisme masih dinilai sebagai kewajaran.

Sebagai kaum jomlo alias belum kawin, sudah berapa kali pertanyaan "kapan nikah" yang kamu terima selama ini? Puluhan, ratusan, atau bahkan saking banyaknya sampai bosan menghitung?

Jika saja kondisinya dibalik. Pertanyaan "kapan nikah" sama menyebalkannya dengan pertanyaan "kapan cerai" yang ditujukan kepada pasangan yang sudah menikah. Tindakan itu sudah tentu akan dianggap serangan verbal yang serius.

Selain sering diserang lewat pertanyaan yang itu-itu saja secara membabi-buta, terutama saat Lebaran, stigma tak sedap juga terus-menerus mengiringi ke mana pun kaum lajang melangkah.

Tudingan tidak laku atau homoseksual akan disematkan di atas kening mereka. Manusia jomlo hampir selalu dijadikan objek perundungan skala global. Belum lagi munculnya opini jahat bahwa jomlo adalah beban keluarga sekaligus negara.

Di tengah-tengah tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi status marital, ada anggapan umum yang menyatakan bahwa memiliki pasangan berarti sudah meraih kebahagiaan hidup. Sementara dalam agama Islam, status pernikahan dianggap sebagai penyempurna agama.

Akibatnya, mereka yang belum menikah acap kali merasa sangat bersalah kepada dirinya sendiri karena gagal memenuhi norma dan standar kebahagiaan umum.

Di tengah budaya timur, mereka yang sudah menikah akan secara otomatis dipandang sebagai orang baik, penuh pengorbanan, dan sepenuhnya dewasa. Namun, anehnya, sangat jarang sekali yang menggunakan sifat-sifat tersebut untuk menilai kaum lajang.

Oleh sebab itu, sudah menjadi fenomena yang diwajarkan untuk memvonis kaum lajang sebagai warga kelas dua. Bahkan, tidak jarang pula muncul stigma bahwa menjadi seorang jomlo adalah aib. Apa pun narasinya, kaum lajang akan selalu diganjar dengan gelar "ngenes".

Padahal, bagi beberapa orang, menjadi jomlo bisa jadi adalah pilihan warasnya yang diambil dengan kesadaran penuh. Bukan lantaran kutukan yang dijadikan materi ejekan untuk menyerang mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun