Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Dilema Pecandu WhatsApp, Tetap Setia atau Migrasi?

14 Januari 2021   19:52 Diperbarui: 15 Januari 2021   08:18 1338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Shutterstock/Antonio Salaverry)

Film itu bercerita mengenai bagaimana sebuah entitas teknologi mengeksploitasi pengguna untuk mengeruk keuntungan. Akan tetapi, sebelum itu, mereka akan terlebih dahulu membuat kita kecanduan, lantas menguasai data pribadi kita. Dan, selama ini mereka sudah melakukannya dengan baik. Kita telah menjadi pecandu.

Dengan jumlah pengguna aktif sekitar 2 miliar di seluruh dunia, tidak berlebihan kiranya jika menyebut WhatsApp sebagai raksasa media sosial, khususnya pesan instan. Angka itu jauh melebihi rivalnya.

Disadari atau tidak, aplikasi buatan Jan Koum itu sudah menancapkan kukunya terlalu dalam di kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, sebelum kita membuka mata di pagi hari, jari kita akan secara otomatis menekan aplikasi hijau itu.

Ilustrasi WhatsApp. | BBC.com via Getty Images
Ilustrasi WhatsApp. | BBC.com via Getty Images
Nyaris pada setiap aktivitas komunikasi, kita akan selalu melibatkan WhatsApp. Terlebih lagi, tak ada pungutan biaya di muka dan dengan basis pengguna yang sangat besar. Kita sudah terlalu nyaman.

Senada dengan Harris, seorang software programmer asal AS, Justin Rosenstein, mengatakan, "Ada banyak layanan di internet yang kita anggap gratis. Namun, itu tidak gratis. Semua itu dibayar oleh pengiklan. Kenapa pengiklan bersedia membayar? Karena mereka membayar untuk menampilkan iklan kepada kita."

Bila kita menggunakan produk gratisan, aplikasi apapun itu, secara otomatis kita telah menukar data privasi kita sebagai "biaya berlangganan" kepada korporasi teknologi tersebut. Apapun aplikasinya.

Sampai di sini idealnya kita sudah dapat menerka. Oleh karena tidak adanya iklan dalam WhatsApp, maka harus ada pihak (pengiklan) yang membayar layanan kita dengan data-data pribadi kita sebagai "alat tukar" utama. Masihkah gratis?

Aturan privasi baru WhatsApp. | Twitter @WhatsApp
Aturan privasi baru WhatsApp. | Twitter @WhatsApp
Regulasi baru mereka memungkinkan Facebook untuk membaca data meliputi nomor ponsel, IP address, serta data-data krusial lain di akun WhatsApp kita.

Pada era digital, data adalah harta karun yang sangat berharga. Oleh perusahaan berbasis internet, data digunakan seolah "mata uang" yang dipertukarkan melalui berbagai jenis produk sekaligus menjadi "bahan bakar" big data, yang kemudian akan menjadi roda penggerak teknologi kecerdasan buatan (AI).

Dengan terhubungnya WhatsApp, maka akan tercipta sebuah ekosistem big data yang sangat besar. Seperti yang diketahui bersama, Facebook telah terlebih dahulu mengakuisisi Instagram pada 2012 lalu.

Sejenak kita bayangkan betapa masifnya ekosistem yang mampu mereka ciptakan jika Facebook, Instagram, dan WhatsApp dikombinasikan ke dalam satu sistem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun