Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gelar Habib dan Fanatisme

25 Mei 2020   15:37 Diperbarui: 14 November 2020   18:29 2869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Habib Zein bin Umar bin Smith menunjukkan foto para sayyid di ruangan kerja Rabithah Alawiyah, Jakarta | Tirto.id

Gelar Habib melekat dengan sebuah tanggung jawab moral yang besar. Jadi tak heran jika Quraish Shihab dan Haidar Bagir (CEO Mizan) menolak dipanggil Habib oleh karena kerendahan hati mereka, meski dari segi kedalaman ilmu dan kemuliaan akhlak, keduanya tidak pernah diragukan.

Habib berkaitan dengan mahabbah yang berarti cinta, sehingga kalau tidak dicintai dan mencintai maka bukan Habib.

Selain harus memiliki kedalaman ilmu dan mampu mengamalkannya, seorang Habib juga harus memiliki sifat zuhud dan wara (berhati-hati) baik dalam bersikap maupun bertutur kata karena prilaku dan kebijaksanaannya akan dicontoh oleh masyarakat luas.

Senada dengan pendapat dari Ketua Dewan Pimpinan Rabithah Alawiyah (organisasi yang menghimpun silsilah keturunan Nabi) Habib Zein bin Umar bin Smith, bahwa tidak semua keturunan Rasulullah bisa disebut dengan Habib.

Hal itu harus dijabarkan berdasarkan silsilahnya terlebih dahulu. Selain itu, seorang Habib harus memiliki akhlak yang baik. Sebab, keteladanan mereka akan dicontoh oleh masyarakat. Akan aneh jadinya jika seseorang mengaku-ngaku seorang Habib. Tegas beliau, sebagaimana dilansir dari IDN Times.

Fanatisme Buta

Dalam tradisi yang berkembang di Indonesia, gelar itu kerap disalahartikan, bahwa ustadz keturunan Arab dengan ciri-ciri khas berjenggot lebat, memakai gamis, bersorban, serta memiliki banyak pengikut dengan sendirinya adalah Habib. Lalu ditunjang dengan dialektika Arab dan celana cingkrang selain sebagai streotipe, juga diyakini sebagai syariat.

Ajaran yang mereka usung adalah Islam yang kaffah. Islam murni yang selalu diidentikkan dengan Islam Arab. Jika tidak sesuai dengan apa yang mereka yakini maka bid'ah, bisa jadi haram. Pun bagi yang berbeda paham bisa dianggap musuh, jika perlu diperangi.

Justru orang yang benar-benar Habib dalam arti sesungguhnya, mereka sesat-sesatkan. Diharam-jaddahkan. Mereka memposisikan diri sebagai puncak fatwa tertinggi. Bila perlu Qur'an dan Hadist bisa ditafsirkan semaunya, sesuai syahwat politik yang dikehendaki.

Arogansi dan sumpah serapah yang diselingi takbir dalam setiap ceramah telah menjadi suatu tradisi. Menghasud para jamaahnya untuk membenci orang atau kelompok yang berselisih paham. Ujaran-ujaran kebencian yang dibumbui dengan janji-janji surgawi itulah yang kemudian membentuk sikap fanatik.

Aksi bela ulama yang belum lama terjadi merupakan wujud fanatisme terhadap ulama maupun Habib, sehingga muncul persepsi, bahwa ulama harus dibela mati-matian. Terlepas dari perilaku atau perangai buruk yang mereka citrakan.

Fanatisme membutakan hati dan akal sehat, juga merupakan akar dari intoleranansi yang melahirkan berbagai tindak kekerasan atas nama agama. Apalagi jika fanatisme itu sudah disusupi ideologi tertentu, misalnya ekstrimisme atau terorisme. Maka akan sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun