Mohon tunggu...
Ki Sugito Nuswantoro
Ki Sugito Nuswantoro Mohon Tunggu... Seniman - Happy itu Simple

i am, pengayuh sepeda

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Antara Buruh Pabrik Vs Profesional Trader

11 Desember 2019   16:03 Diperbarui: 11 Desember 2019   16:26 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Upah sebagai buruh pabrik di Jakarta pada 2018 tahun lalu, kalau tidak salah berkisar antara Rp. 4.300.000,-. Upah minimun regional ( UMR ) Jakarta terutama di daerah Cikarang yang merupakan  central industri tersebut merupakan upah tertinggi dari seluruh buruh di Indonesia.  Dengan upah sebesar itu misalnya dipotong dengan pengeluaran bulanan antara lain biaya kost Rp. 300.000,- transportasi mondar-mandir ke tempat kerja Rp. 300.000,- kemudian kebutuhan konsumsi selama satu bulan Rp. 600.000,- kebutuhan paket internet yang di jaman now sudah menjadi kebutuhan primer Rp. 50.000,- dan tambahan pengeluaran perlengkapan mandi dan lainya berkisar Rp. 50.000,-. Total pengeluaran adalah Rp. 1,3 juta, jadi si buruh pabrik masih bisa  mengantongi Rp. 3 juta.

Dengan saldo yang masih cukup besar tersebut maka tentu saja akan diikuti dengan gaya hidup tertentu. Sepeda motor dengan cicilan berkisar Rp. 800 ribu sampai dengan Rp. 1 juta sudah tentu bagian dari expresinya dalam menunjukkan keberhasilan yang patut di banggakan. Oke anggap saja dari saldo Rp. 3 juta itu masih dikurangi dengan pengeluaran gaya hidup sebesar Rp. 1 juta misalkan yang ditambah lagi dengan aksi balas budi kepada orang tua di kampung sebesar Rp. 1 juta pun tetap saldo masih yang parkir di rekeningnya berkisar antara Rp. 1 jutaan. Artinya dengan pendapatan sebesar tersebut di atas dan si buruh tersebut sudah dengan super percaya dirinya dalam pemakaian keuangan lengkap dengan biaya tetek bengek ( banyak macam ) itu masih juga menyisakan saldo kira-kira Rp. 1 jutaan.

Jika si buruh pabrik ini mau berhemat lagi dan tidak boros dalam pemakaian uang maka si buruh pabrik itu bisa menuju ke bank kesayangan dan membuka tabungan deposito berjangka. Misalkan pergi ke bank menghadap customer service dan menanyakan instrumen deposito yang bersifat berjangka dengan tenor jatuh tempo misalkan 3 tahun. Maka dalam tiga tahun kemudian kekayaan yang dimiliki si buruh pabrik berkisar antara Rp. 1 juta x 12 bulan = 12 juta di kalikan selama 3 tahun = Rp. 36 juta. Bunga dari bank misalkan 5 %  maka didapatkan Rp. 1.800.000,-. Jadi total kekayaan setelah ditambah bunga menjadi Rp. 42 juta.

Uang sebesar tersebut diatas adalah hasil kerja keras si buruh pabrik selama tiga tahun. Jika si buruh ini mengerti dan tahu  betul akan perencaan keuangan maka sudah jelas uang sebesar Rp. 42 juta tersebut memasuki tahun ke-empat akan diversifikasikan dalam berinvestasi. Misalnya sebesar Rp. 30 juta digunakan untuk membeli sawah di kampung meskipun lokasi sawah tersebut kurang strategis karena secara irigasi misalnya kurang memadai. Tapi sudah jelas harga sawah semakin bertambah tahun sudah jelas semakin bertambah tinggi. Sedangkan sisa Rp. 12 juta oleh si buruh pabrik tersebut digunakan untuk membuka usaha kecil-kecilan semisal lapak parud kelapa yang kira-kira cukup dengan modal Rp. 12 jutaan. Lapak parud kelapa ini misalkan dipercayakan kepada ahlinya semisal adik atau ponakan dengan perjanjian kerjasama yang lebih profesional di atas materi lengkap dengan sistem bagi hasil seumpama 30% buat pemodal dan  70% buat yang menjalankan dari hasil profit setelah dikurangi modal berjalan.

Jadi kira-kira pada tahun ke-empat atau memasuki akhir tahun kelima karena si buruh pabrik yang kurang beruntung, misalnya pabrik tidak memperpanjang kontraknya. Jika kondisi tersebut yang dialami si buruh, maka si buruh tidak tidak akan merana karena putus cinta pabrik dengan si buruh. Uang Rp. 24 juta hasil tabungan deposito berjangka pada saat pabrik memutuskan kontrak kerja tetap parkir di rekening tercinta. Tinggal menghitung laba dari hasil usaha parud kelapa selama dua tahun yang jika dihitung seminim mungkin dengan alasan usaha parud kelapa tersebut masih tergolong baru. Misalkan seminim-minimnya si buruh mendapatkan Rp. 300 ribu setiap bulan. Di total dalam dua tahun hasil imbal hasil tersebut berkisar Rp. 7 juta. Kekayaan si buruh pabrik setelah putus hubungan kerja dan profit parud kelapa adalah Rp. 30 jutaan. Belum masih ketambah aset sawah dan aset parud kelapa, hmmm nampaknya rasa percaya diri si mantan buruh pabrik ini makin tinggi. Bisa-bisa banyak orang tua di desanya yang mendorong anak gadisnya untuk lebih dekat dan menggaetnya hahaha mantap ini gues.  Banyak Ibu-Ibu desa yang senyum-senyum dan rajin menyapa ketika bertatap dan bertemu di jalan dengan si bujang mantan buruh pabrik tersebut.

Nah apa kabar dengan teman-teman trader. Mampukah teman-teman trader bisa hidup dengan penuh percaya diri juga dalam menghadapi hari bulan dan tahun. Bisa kredit motor seharga Rp. 1 jutaan dari hasil withdrawall. Bisa mengirim/membantu orang tua sebesar yang buruh pabrik lakukan ? dan masih bisa menabung dengan jenis deposito berjangka ? sampai pada tahun kelima, tahun yang sama ketika buruh pabrik itu mendapatkan surat cerai dari pabrik, kita-kita ( yang mengaku dan mengatakan diri sebagai trader ) akan ber-happy ending seperti mantan pekerja pabrik. Akan banyak gadis desa bahkan gadis kota yang mengejar kita ( bagi yang masih bujang ) dan banyak janda cantik melirik kita (buat yang sudah menduda ) karena secara financial kita no problem . Mampukah kita  ?

Selamat berjuang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun