Pada tahun 1989, Rene Van Deberg  yang melakukan penelitian terhadap Bahasa Muna/ Wambha Wuna memperkirakan penutur Bahasa Muna di Kabupaten Muna ( yang ada di daratan Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara dan saat ini telah menjadi 3 kabupaten yakni Kabuopaten Muna, Muna Barat, dan Buton Utara ) yakni sekitar 300.000 penutur. Dari jumlah itu Rene Van Deberg mengkategorikan Bahasa Muna/ Wambha Wuna  betul-betul terancam dan berada dalam zona gawat.
Pengkategorian yang dilakukan oleh Rene tersebut, tidak mempeerhitungkan penutur Bahasa Muna/ Wamba Wuna yang ada di Kepulauan Buton ( saat ini telah menjadi 2 Kabupaten dan 1 Kota, yakni Kabupaten Buton, Kota Baubau, dan  Buton Selatan ) dan pentur Bahasa Muna/ Wambha Wuna yang ada di Pulau Muna Bagian Selatan yang saat itu masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Buton. Rene juga tidak memotret penduduk Kota Kendari yang berasal dari Kabupaten Muna dan Kabupaten  lain yang masyarakatnya bertutur dalam Bahasa Muna/ Wambha Wuna yang saat ini di perkirakan berjumlah sekitar 25.000 jiwa.
Berikut table daerah ( Kabupaten dan Kota ) Â yang penduduknya dalam keseharian bertutur dalam Bahasa Muna/ Wambha Wuna :
Kabupaten/Kota
Kecamatan / Pulau
Perkiraan Penutur
Seluruh Kecamatan dan Pulau
300.000
Muna Barat
Seluruh Kecamatan dan Pulau
75.000
Buton Utara
Kec. Wakorumba Utara, Bone Gunu, Kambowa
15. 000
Baubau
Kec. Betoambari,Lealea, Bungi
40.000
Buton
Kec. Kapontori, Kamaru, Lasalimu
25.000
Buton Selatan
Kec. Batauga, P.Batu Atas, P.Kadatua, P. Siompu
30.000
Buton Tengah
Seluruh  Kecamatan di Buton Tengah
75.000
Kendari
Tersebar di seluruh Kota Kendari
25.000
Total585.000
BAHASA MUNA/WAMBA WUNA, BAHASA KEBANGSAAN KERAJAAN MUNA DAN KESULTANAN BUTON?
"Bahasa Menunjukan Bangsa" demikian dikatakan JS. Badudu, seorang pakar bahasa Indonesia yang terkenal pada masa Orde Baru karena mengeritik dialek Presiden Suharto yang melafalkan kata makin dengan mangkin. JS. Badudu menyadari bahwa bahasa merupakan identitas dan jati diri bangsa. Olehnya itu setiap orang termasuk Suharto harus melafalkan pengucapan setiap kalimat bahasa sesuai dengan kaidah tata bahasa yang baik dan benar sebagai manifestasi jati diri dan identitas suatu bangsa, dalam hal ini Bangasa Indonesia.
Menurut JS. Badudu kebesaran suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa besar kecintaan bangsa itu dengan bahasanya. Salah satu bentuk dari kecintaan tersebut adalah ditentukan dengan kualitas dan kuantitas orang yanng menggunakan bahasa bangsa tersebut.
Mengapa JS. Badudu menekankan penggunaan bahasa dengan eksistensi suatu bangsa? Hal ini terjawab dengan sejarah kolonialisme moderen di mana untuk dapat mengifiltrasi suatu bangsa, maka hal pertama yang dilakukan bangsa tersebut adalah menyebar luaskan penggunaan bahasanya pada bangsa yang di incarnya.
Bila melihat pengguna Bahasa Muna yang hampir melingkupi seluruh wilayah ex Kesultanan Buton, mungkinkah kita dapat berasumsi bahwa Buton itu merupakan bagian atau koloni dari Kerajaan Muna? Atau mungkinkah Bahasa Muna merupakan bahasa Kesultanan Buton?
Pertanyaan diatas perlu diteliti lebih mendalam lagi, sebab berdasarkan artikel-artikel sejarah yang ditulis oleh sejarawan buton selama ini dikatakan bahwa bahasa kesultanan Buton adalah Bahasa Wolio. Padahal berdasarkan penelitian dan fakta yang ada hari ini pengguna bahasa Wolio hanyalah melingkupi masyarakat satu Kecamatan ( Kecamatan Wolio )dari 6 Kecamatan yang ada di Kota Bau-bau saat ini, selebihnya menggunakan bahasa Muna ( sebagian besar ) dan bahasa Cia-cia ( sebagian kecil-khususnya di kecamatan Sorawolio).
Soerjono Soekanto Dalam buku Sosiologi Suatu pengantar ( 1990) mengatakan interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu: 1) Adanya kontak sosial ( social contact, 2) adanya komunikasi. Apabila salah satu dari dua syarat tadi tidak terpenuhi maka mustahil terjadi interaksi sosial. Jadi bagai mana suatu kelompok dapat berkomunikasi dengan kelompok lain bila tidak saling memahami bahasa masing-masing? Padahal arti penting dari suatu komunikasi adalah memberikan penafsiran perilaku orang lain melalui pembicaraan dan gerak-gerak badania ( Sujano Sukanto, 1990:71-73).