Mohon tunggu...
Bening Kinasih
Bening Kinasih Mohon Tunggu... Mahasiswa

Enthusiast in science and finance

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Keadilan Perpajakan: Belajar dari Demo di Pati

8 September 2025   18:09 Diperbarui: 8 September 2025   18:09 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) memicu amarah publik hingga berujung demo di berbagai daerah. Gejolak demo ini salah satunya terjadi di Kabupaten Pati yang menuai perhatian nasional. Kenaikan PBB di Pati yang mencapai 250% dinilai sangat merugikan masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang masih belum stabil. Atas kebijakan ini, massa tak hanya protes untuk keadilan pajak, mereka bahkan juga menuntut Bupati Pati agar mundur dari jabatan.

Lantas, apa alasan dibalik kenaikan PBB ini? Jika kita lihat ke belakang, pemerintah daerah Pati tidak menyesuaikan tarif PBB selama 14 tahun. Penyesuaian yang tertunda bertahun-tahun ini menyebabkan kenaikannya tampak ekstrem sekaligus. Selain itu, pendapatan daerah yang tak kunjung meningkat juga menjadi alasan atas kenaikan pajak ini.Pendapatan yang daerah tidak mencukupi disebabkan oleh menurunnya transfer dari pemerintah pusat. Kondisi ini semakin berat karena belanja daerah, terutama untuk kebutuhan pegawai, terus mengalami kenaikan. Dalam tekanan fiskal tersebut, pemerintah daerah menempuh langkah praktis dengan menaikkan PBB yang dianggap sebagai cara paling cepat untuk menambah pemasukan. Namun, kebijakan ini justru memicu gelombang penolakan masyarakat dan berujung pada demonstrasi besar-besaran.

Kenaikan PBB menimbulkan dampak nyata yang langsung dirasakan masyarakat. Beban finansial akan langsung muncul di tingkat rumah tangga. PBB memiliki sifat lump sum tax yang dibebankan ke objek tanah atau bangunan sehingga harus dibayar tunai setiap tahun tanpa mempertimbangkan kondisi penghasilan. Apabila tarif atau nilai jual objek pajak (NJOP) meningkat drastis, maka pengeluaran rutin rumah tangga menjadi semakin berat. Hal ini terutama dialami oleh kelompok seperti pensiunan atau pekerja kecil yang tinggal di rumah tua yang berada di atas tanah dengan nilai tinggi. Mereka dipandang sebagai pihak yang "mampu" karena asetnya, tetapi pada kenyataannya pendapatan mereka stagnan dan terbatas.

Selain itu, kenaikan PBB juga dapat mengurangi konsumsi rumah tangga serta kesejahteraan masyarakat. Menurut teori keuangan publik, pajak yang tinggi secara langsung menurunkan disposable income atau pendapatan setelah pajak. Akibatnya, daya beli masyarakat melemah, konsumsi berkurang, dan keluarga terpaksa melakukan penghematan agar dapat memenuhi kewajiban pajak. Dalam jangka panjang, kondisi ini menimbulkan rasa tertekan karena rumah tangga merasa kesejahteraannya berkurang demi memenuhi kewajiban PBB.

Dalam kasus kenaikan pajak ini, terdapat persoalan rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat. Menurut teori equity, terdapat dua dimensi utama keadilan pajak, yakni vertical equity dan horizontal equity. Vertical equity menekankan bahwa mereka yang memiliki kemampuan lebih tinggi seharusnya membayar pajak lebih besar. Sementara itu, horizontal equity menegaskan bahwa mereka dengan kemampuan ekonomi yang setara seharusnya membayar pajak dalam jumlah yang sama. Masalah muncul ketika kenaikan PBB diberlakukan secara seragam tanpa mempertimbangkan perbedaan kemampuan membayar. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah yang memiliki aset tanah bernilai tinggi dipukul rata dengan kelompok kaya sehingga menimbulkan persepsi bahwa kebijakan ini tidak adil.

Jika dianalisis lebih, kemarahan masyarakat terhadap kenaikan PBB dapat dipahami melalui beberapa aspek. Dari sisi efisiensi dan deadweight loss, pajak ideal seharusnya tidak menimbulkan distorsi berlebihan. Namun, kenaikan PBB justru membuat masyarakat mengurangi konsumsi, menunda investasi, atau bahkan terpaksa menjual aset. Beban ini dianggap tidak efisien karena kerugian kesejahteraan yang ditimbulkan lebih besar dibanding penerimaan yang diperoleh pemerintah. Di samping itu, masyarakat merasakan adanya excess burden atau beban tambahan pajak. Beban pajak tidak hanya berupa uang yang dibayarkan, tetapi juga hilangnya kesejahteraan akibat pengurangan konsumsi atau terbatasnya pilihan ekonomi. Dalam kasus PBB, masyarakat merasa membayar lebih tanpa mendapatkan manfaat tambahan.

Secara keseluruhan, demo Pati menegaskan pentingnya menjaga prinsip keadilan fiskal. Pajak sejatinya adalah kontrak sosial. Ketika PBB-P2 dinaikkan secara mendadak tanpa persiapan dan pertimbangan rasa adil, kepercayaan publik pun terganggu. Karena itu, reformasi perpajakan daerah harus mampu menyeimbangkan antara efisiensi ekonomi dengan keadilan sosial. Dalam jangka pendek, pemerintah daerah perlu merespons aspirasi masyarakat dan memperkuat transparansi dalam setiap kebijakan pajak. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan keuangan publik semestinya selalu menempatkan kesejahteraan rakyat di atas kepentingan mengejar target PAD secara instan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun