Akhir-akhir ini saya cukup rutin menggunakan KRL karena jalan yang biasa saya lalui sedang mengalami perbaikan besar, sehingga menyebabkan kemacetan parah. Saya biasa berangkat pada berbagai waktu, mulai dari setelah salat subuh hingga sekitar pukul enam pagi. Berangkat pada pukul enam merupakan perjuangan tersendiri, saya harus berdesakan seperti tumpukan pindang dalam gerbong. KRL mayoritas digunakan oleh warga Jawa Barat dan Banten yang bekerja di Jakarta. Namun sayangnya, integrasi transportasi massal antarwilayah aglomerasi seperti Bodebek, Ciayumajakuning, dan Bandung Raya, khususnya yang terhubung ke Jakarta, masih jauh dari kata optimal.
Mayoritas masyarakat masih enggan beralih ke transportasi publik karena moda yang tersedia belum terintegrasi secara efisien. Akibatnya, banyak warga Jawa Barat yang tinggal di wilayah pinggiran Jakarta masih bergantung pada moda transportasi yang berbasis di Jakarta. Padahal, dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar, kebutuhan akan sistem transportasi massal yang terjangkau, terintegrasi, dan menjangkau lintas kabupaten/kota menjadi sangat mendesak. Transportasi adalah faktor krusial yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Setiap kali bepergian, saya melihat para "pemburu rupiah", orang-orang yang luar biasa tangguh, baik secara fisik maupun mental, menghadapi padatnya sistem transportasi ini. Sistem transportasi publik yang buruk dapat menjadi sumber stres yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika moda transportasi tidak memadai, seperti sering terlambat, penuh sesak, tidak terintegrasi, atau tidak menjangkau wilayah secara merata, pengguna terpaksa mengorbankan waktu, energi, dan kenyamanan hanya untuk berpindah tempat. Hal ini memicu apa yang dikenal sebagai commuter stress, yaitu tekanan psikologis akibat perjalanan yang tidak menyenangkan. Perjalanan yang panjang dan tidak pasti dapat menyebabkan kelelahan mental, kecemasan karena takut terlambat, dan penurunan produktivitas. Ditambah suasana yang tidak nyaman, seperti harus berdiri lama, berdesakan, atau kurangnya rasa aman, dapat menimbulkan frustrasi hingga konflik antarpengguna. Semua ini berdampak tidak hanya pada kesejahteraan individu, tetapi juga pada kualitas hidup secara kolektif.
Saya sendiri hanya dua hari menggunakan KRL dan ojol untuk berangkat ke kantor, tapi rasa capeknya masih terasa tiga hari kemudian. Bayangkan mereka yang harus melakukannya setiap hari---berangkat subuh, pulang malam, lalu subuh harus berangkat lagi. Mereka adalah orang-orang dengan semangat juang luar biasa untuk mencari nafkah, yang seharusnya mendapat dukungan sistemik yang memadai.
Namun sayangnya, pemerintah belum benar-benar menaruh perhatian serius pada kenyataan ini, terutama Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang tampak abai terhadap buruknya sistem transportasi publik di wilayahnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI