Mohon tunggu...
Eva
Eva Mohon Tunggu... Mahasiswa -

i'm catching anything around

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[Review Film] Blue is the Warmest Color

28 April 2017   23:24 Diperbarui: 28 April 2017   23:31 4442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: imdb.com"][/caption]

Cinta menjadi hal yang paling umum dibicarakan dalam seluruh karya seni. Mulai dari lagu, karya-karya sastra, film, semua bicara cinta dengan berbagai macam rupa. Cinta kepada hewan, kepada lingkungan, dan tentunya sesama manusia. Untuk manusia pun, cinta beragam bentuknya. Ada yang dari orang tua ke anaknya, ke sahabatnya, cinta laki-laki dan perempuan, atau yang masih kontroversial hingga saat ini, sesama laki-laki, atau sesama perempuan.

Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkannya, cinta sesama jenis pun kini telah menjadi bagian yang ada dan memang harus diakui keberadaannya dalam tatanan sosial masyarakat. Mereka pun akhirnya muncul dalam berbagai karya seni, termasuk film. Dan Blue is the Warmest Color mengangkat tema ini: cinta sesama jenis antara dua orang perempuan.

Film Blue is the Warmest Color rilis pada tahun 2013, dengan judul asli La Vie d'Adèle. Film ini berasal dari Perancis dan disutradari oleh Abdellatif Kechiche dan menampilkan Adèle Exarchoupoulos (sebagai Adèle) dan Léa Seydoux (sebagai Emma).

Kisah ini dimulai dengan kehidupan Adèle sebagai seorang pelajar SMA. Tidak ada yang spesial, seperti murid-murid lainnya, Adèle mengejar bus, berangkat sekolah dan cabut pada mata pelajaran tertentu, bergosip sama temen-temen perempuannya, dan didekati sama seorang cowo namanya Thomas. Iya, laki-laki. Sampai akhirnya Adèle dan Thomas pergi kencan dan having sex, dan Adèle merasa ada yang kurang atau hilang dari hubungan tersebut. Dia merasa kosong.

Terjadi beberapa hal sama Adèle sampai dia mulai menyadari bahwa dia mulai memiliki ketertarikan sama perempuan. Mungkin belum bisa dibillang kesadaran, Adèle berusaha mengeksplorasi dirinya sendiri, sampai dia ketemu dengan Emma, seorang lesbian yang sudah coming out. Cerita cinta mereka pun dimulai di sana.

Dari seluruh film cinta yang pernah saya tonton, mungkin ini yang paling less drama. Tidak ada adegan ala-ala abg mabuk kepayang yang penuh rayuan gombal dan semacamnya. Hal ini yang membuat film ini terasa sangat wajar untuk saya. Alur cerita dibikin cukup lambat, supaya penonton juga punya waktu untuk kenal Adèle yang polos dan Emma yang bebas dan penuh semangat.

Kepolosan Adèle dan semangatnya Emma bahkan ga digambarin melalui kata-kata. Film ini ga banyak berkata-kata, hanya dari wajah Adèle dan Emma, kita udah tau mereka seperti apa. Dari adegan tidur Adèle yang melongo, Adèle yang rambutnya gak pernah rapi (saya pengen banget ngesisirin rambutnya Adèle), serta dari tatapan-tatapan Emma. Film ini betul-betul ga banyak bicara.

Meskipun less drama, tapi ada sesuatu yang bikin film ini cukup kontroversial, yaitu adegan vulgarnya. Iya, adegan vulgar di film ini mencapai 7 menit. Meskipun begitu, adegan ini terasa penting dalam film, karena di sini saya bisa lihat betapa passionate-nya cinta mereka, betapa mereka menghargai 'tubuh' satu sama lain, dan betapa seksualitas menjadi hal yang penting dalam cinta. Adegan vulgar di film ini terasa sangat manusiawi, terasa sangat dekat dalam kenyataan dalam film ini.

Film yang berdurasi tiga jam ini benar-benar menyita perhatian saya. Di film ini ga ada perdebatan apakah homoseksual salah atau benar, ga ada pula drama coming out seperti film-film dengan tema serupa lainnya. Meskipun begitu, bukan berarti isu tersebut hilang gitu aja. Hingga saat ini, homoseksualitas sendiri masih jadi kontroversi, dan tentunya ga mungkin banget kalo hal tersebut hilang. Baik stigma masyarakat maupun pengakuan dari orang sekitar juga menjadi bagian dari film ini, tapi kedua hal tersebut disampaikan dengan cara yang sederhana. Hal ini jadi poin penting dari film ini, film ini memang terkesan sederhana, jauh dari kondisi yang roller coaster, tapi isu-isu mengenai cinta dan homoseksualitas sendiri bisa tersampaikan dengan sangat baik.

Ga hanya detail, saya juga tertarik dengan cara sutradara film ini bertutur melalui pengambilan gambarnya. Dengan kamera 'goyang-goyang', saya serasa juga ikut dibawa masuk ke dalam film, dan merasakan kehidupan sehari-harinya Adèle dan Emma. Selain itu, film ini juga ga ngasih backsound lagu apapun lho, bahkan ketika adegan vulgar. Musik hanya ada ketika memang adegan mereka memutar musik. Sounds boring? Percayalah tidak. Saya malah merasa sangat masuk ke dalam cerita ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun