Meskipun pluralisme dan demokrasi secara umum terlihat saling mendukung, perkembangan terakhir di Indonesia menunjukkan bahwa keduanya juga dapat mengalami ketegangan.Â
Ini adalah bagaimana saya membayangkan Indonesia akan berakhir; bukan dengan ledakan bom atom yang diluncurkan oleh musuh yang tangguh, tetapi dengan "buzz" yang diciptakan oleh influencer media sosial---yang secara lokal dikenal sebagai "buzzers"---yang mencegah kita membuat keputusan yang tepat dalam keadaan darurat global.
Indonesia, atau setidaknya ibu kotanya, kini berada di ambang krisis pandemi yang sangat menular melanda dunia seperti api, menewaskan ribuan penduduknya.Â
Krisis pandemi  bukanlah fiksi ilmiah. Ini adalah ancaman kehidupan nyata yang dihadapi tidak hanya oleh Indonesia, tetapi oleh lebih dari 140 negara lain.Â
Tetapi tampaknya tidak ada yang terlarang bagi sekelompok influencer media sosial lokal yang bersedia mengubah setiap masalah menjadi pertengkaran kecil partisan, membingkai diskusi yang sangat serius tentang cara-cara untuk mencegah bencana kesehatan yang menjulang di dalam politik yang dangkal, rabun, dan memuakkan.Â
Dalam beberapa hari terakhir, di saat pemerintah pusat diharapkan bertindak cepat untuk menanggapi pandemi, pengguna media sosial telah terlibat dalam diskusi panas tentang apakah Indonesia, atau Jakarta, harus memberlakukan pembatasan "meratakan kurva" infeksi untuk menyelamatkan nyawa.
Diskusi bebas tentu merupakan kebutuhan dalam demokrasi dan saya menghargai kenyataan bahwa orang Indonesia dapat berbicara tentang bagaimana pemerintah menangani krisis ini di media sosial.Â
Namun, sayangnya, diskusi ini hanya berguna jika tidak ada kelompok orang yang memiliki kepentingan pribadi yang mencoba memperkeruh suasana dan mengubah proses pembuatan kebijakan berbasis bukti yang seharusnya ketat menjadi permainan politik belaka.
Kita telah melihat di media sosial upaya untuk menggambarkan orang-orang yang mendukung gagasan pemberlakuan lockdown sebagai kadrun, istilah hinaan yang digunakan oleh pendukung Presiden Joko Widodo untuk menggambarkan para pencelanya, terutama mereka yang secara terbuka mendukung Jakarta. Gubernur Anies Baswedan sebagai presiden berikutnya.
Anies menyerukan pembatasan untuk mencegah penularan yang lebih luas di ibu kota, yang telah menjadi pusat pandemi di Indonesia dengan 215 kasus yang dikonfirmasi dan setidaknya 18 meninggal dunia, lebih dari setengah jumlah korban nasional.
Namun, Presiden Jokowi enggan mendukung kebijakan ekstrem, karena khawatir akan konsekuensi sosial dan ekonomi yang mengerikan. Dalam teguran terselubung kepada Gubernur Jakarta, yang sempat membatasi layanan transportasi kota, Presiden menegaskan bahwa dia sendiri yang berhak memberlakukan pembatasan. Â