Mohon tunggu...
khumaediimam
khumaediimam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Teruslah menebar kebaikan, karena kebaikan yang mana yang diridhai, tiada kita tahu

Menulis Atau Mati.....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waedah, Pedagang Ikan Panggang Bersahaja

22 Agustus 2020   14:27 Diperbarui: 25 Agustus 2020   12:09 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Waedah sedang memanggang ikan di depan rumahnya.

"Dagang kuwe sing penting kiyeng lan tlaten. Mesti bakal ana manfaate lan untunge" (Berjualan itu yang penting ada niat, tekun dan teliti. Pasti akan ada manfaat dan keuntungannya). Begitulah satu kalimat yang terlontar dari seorang Waedah, pedagang ikan asap atau ikan panggang asal Kluwut, Brebes.

Secara kasat mata, tampak ia hanya orang biasa. Tetapi setelah saya berbincang langsung dengannya lebih dari satu jam, sungguh kudapati ia adalah orang yang luar biasa. Pendidikannya yang hanya sampai kelas 3 Sekolah Dasar (SD), tak mengecilkan niat dan tekadnya mengarungi pahit-getirnya kehidupan. Pergaulannya cukup luas serta perangainya yang baik membuat dirinya banyak disukai orang.

Perempuan sederhana kelahiran desa Kluwut kecamatan Bulakamba Brebes, 45 tahun lalu itu diberi amanah 5 orang anak. Kasim, suaminya hanya terpaut 1 tahun lebih tua darinya. Ia hanyalah seorang buruh pencari ikan (baca; miyang). 

Pendidikan Kasim jauh kurang beruntung dari istrinya, Waedah. Kasim bahkan tidak pernah mengenyam bangku sekolah dasar sekalipun. Pendapatannya pun hanya bergantung dari hasil mencari ikan dengan bosnya. Biasanya Kasim ikut perahu orang untuk mencari ikan sampai ke luar pulau. Sekali berlayar, Kasim baru akan kembali 2 sampai 2,5 bulan yang akan datang.

Sebagian istri nelayan atau pencari ikan di daerah Waedah hanya bergantung dari hasil tangkapan ikan suaminya selama miyang (2 bulan lamanya). Maka tak heran, banyak perempuan yang berhutang di warung, hal itu karena tidak cukupnya uang tinggalan dari suaminya. Padahal tangkapan ikan selama miyang sangatlah bergantung dengan cuaca dan kondisi laut. 

Di saat sedang banyak tangkapannya (baca; along) para nelayan akan riang gembira. Tangkapan melimpah ruah. Pundi-pundi rupiah pun terkumpul. Sebaliknya saat sepi (baca: laip), tangkapan ikan sedikit, tak jarang para nelayan dan pencari ikan mendapat upah di bawah standar kebutuhan sehari-hari keluarga.

Waedah tak seperti perempuan pada umumnya, ia tidak mengandalkan penghasilan suaminya. Waedah berusaha sendiri, dengan berjualan ikan asap atau ikan panggang di pasar Tanjung, tiap hari. Sedari kecil ia sudah makan garam berjualan ikan panggang. Sampai kini telah memiliki cucu, berjualan ikan asap masih ditekuninya. Puluhan tahun sudah, dunia berjualan ikan asap ia geluti. Suka-duka berjualan ia alami. Sampai pada akhirnya ia bisa menikmati hasil kerja keras dari keringatnya sendiri. Tak lagi miskin, tetapi keluarga sejahtera. Mungkin, predikat itu yang kini ia sandang.

Puluhan tahun silam, keluarga Waedah merupakan keluarga yang tergolong pas-pasan. Bahkan pernah beberapa tahun hidup menempati rumah orang. Namun Waedah tergolong perempuan yang tegar. Pahit getirnya kehidupan sudah ia rasakan semenjak kecil. Tak tamat dari bangku sekolah dasar, alih-alih Waedah kecil justru sudah membantu orang tuanya berjualan ikan asap di pasar Losari.

Tragisnya, Waedah yang saat itu baru berumur 10 tahunan, sudah dilatih untuk berjualan secara mandiri. Tak jarang, ibunya mengantarkan Waedah ke pasar Losari dan meninggalkannya dengan setumpuk ikan yang siap dijajakannya. Lantas Waedah ditinggal sendirian. 

Ibunya hanya berpesan "Dah...kiye koen tak tinggal, mana iwak-iwak kiye didol, pokoke iwak kiye diregani 200, iwak kiye regane 500, Angger iwak sing kiye sapenek regane 2000. Terus ngko angger pan balik, kari numpak elp, mudune neng sadurunge Jembatan" (Dah...sekarang kamu tak tinggal, silahkan jual ikan-ikan ini. Kalau ikan ini dihargai 200, ikan ini harganya 500, kalau ikan yang ini, setumpuk 2000. Terus nanti kalau mau pulang tinggal naik angkot yang itu, turunnya sebelum Jembatan".

Rumah baru Waedah, hasil jerih payahnya. Dokpri.
Rumah baru Waedah, hasil jerih payahnya. Dokpri.
Waedah kini sudah bisa membangun rumah yang cukup bagus. Semua itu dari kerja kerasnya. Perlahan tapi pasti. Kehidupan Waedah ibarat tinggal memanen hasil dari apa yang telah ditanamnya bertahun-tahun lamanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun