Travel Story, Wisata Alam, Bahari, Kalimantan Barat, Indonesia
Awal Perjalanan: Dari Hiruk Pikuk Kota Pontianak
Setiap kali membicarakan perjalanan wisata di Kalimantan Barat, umumnya orang langsung teringat pada Sungai Kapuas, Tugu Khatulistiwa, atau kuliner khas Pontianak seperti choi pan, bubur pedas, hingga kopi khasnya. Namun di balik hiruk pikuk kota yang sibuk, tersimpan surga tersembunyi yang belum sepenuhnya ramai dijamah wisatawan: Pulau Lemukutan.
Perjalanan saya dimulai dari Pontianak, kota yang selalu riuh oleh aktivitas masyarakatnya. Dari pusat kota menuju Dermaga Teluk Suak, saya harus menempuh perjalanan darat kurang lebih tiga jam. Jalanan berliku, melewati perkebunan kelapa sawit, hutan, dan perkampungan yang perlahan seakan membawa saya keluar dari kebisingan menuju keheningan.
Di dermaga, suasana berubah total. Angin laut menerpa wajah, aroma asin dari laut bercampur dengan suara riuh nelayan yang sedang membereskan jala. Kapal kayu sederhana berjajar, siap mengantarkan penumpang ke Pulau Lemukutan. Perjalanan laut dari dermaga menuju pulau memakan waktu sekitar 1 hingga 1,5 jam, tergantung kondisi ombak.
Di atas kapal, pandangan saya tertuju pada hamparan laut biru yang semakin jernih ketika mendekati pulau. Warna air berubah dari biru tua menjadi toska, menandakan perairan yang dangkal dan penuh kehidupan bawah laut. Hati saya berdebar, seolah pulau itu memanggil dengan lirih: “Selamat datang di dunia yang berbeda.”
Jejak Pertama di Pulau Lemukutan
Setibanya di Pulau Lemukutan, saya langsung disambut oleh suasana yang jauh dari hiruk pikuk kota. Tak ada suara kendaraan bermotor, tak ada polusi, yang ada hanya kicauan burung, suara debur ombak, dan sapaan hangat warga lokal yang ramah.
Pulau ini dihuni oleh komunitas kecil masyarakat pesisir, sebagian besar hidup sebagai nelayan. Rumah-rumah kayu berdiri di tepi pantai, beberapa di antaranya sekaligus difungsikan sebagai homestay sederhana bagi wisatawan. Meski fasilitas tidak semewah resort modern, keramahan tuan rumah membuat pengalaman menginap di sini terasa lebih personal dan membekas.
Saya memutuskan untuk bermalam di salah satu homestay. Malam pertama di pulau, saya duduk di beranda, menatap ke arah laut yang berkilau diterangi cahaya bulan. Langit begitu bersih, ribuan bintang tampak jelas. Di kota, langit semacam ini hampir mustahil dinikmati.