Inilah MBG: "Makan Bergizi Gratis". Program ini hadir laksana jimat ajaib. Tiga kata yang diagungkan sebagai solusi cemerlang untuk masa depan anak bangsa. Â Para pemangku kebijakan di negeri ini begitu yakin: dengan menyajikan makanan "bergizi", anak-anak Indonesia akan melambung menjadi generasi emas, bahkan mendorong peringkat PISA mereka setara dgn para siswa di Eropa.
Menu harian pun dirancang berganti-ganti. Bukan hanya telur ceplok sederhana, melainkan nugget, burger, dan spaghetti seperti para siswa Italia. Disajikan ala restoran cepat saji. Â Seakan-akan burger bisa melenyapkan stunting. Spaghetti mampu memperbaiki wajah pendidikan. Nugget akan mencetak ilmuwan kelas dunia. Kalau logika ini benar, cabang McDonald's mestinya sudah menelurkan puluhan peraih Nobel.
Pejabat kita tampaknya lebih percaya pada estetika makanan ketimbang realitas pendidikan. Mereka hadir di sekolah, tersenyum lebar di depan kamera, lalu menyuapi anak-anak yang terheran-heran kenapa hari itu lauknya burger impor, bukan tempe atau sayur lodeh. Kamera menyorot. Media sosial menyanjung. Politik pencitraan pun kenyang. Setelah kamera mati, anak-anak pulang ke rumah yang atapnya bocor, listriknya byar-pet, sekolahnya kekurangan guru tetap.
Guru pun ikut jadi korban. Guru matematika dipaksa menghitung kalori. Guru sejarah mendadak jadi pencatat logistik. Guru olahraga berubah jadi kurir makanan. Semuanya tanpa insentif tambahan. Â Konon cinta tanah air tak bisa diukur dengan rupiah. Betul. Sebab rupiah yang seharusnya untuk kesejahteraan guru sudah habis dibelanjakan nugget beku dan pasta impor.
Padahal sejatinya masalah gizi di negeri ini bukan soal menu cantik, melainkan soal kemiskinan, akses pangan lokal, dan sanitasi yang buruk. Tetapi pejabat lebih suka bicara burger ketimbang sumur bor. Lebih suka spaghetti ketimbang dapur sekolah yang lantainya becek. Â Burger mudah dijadikan baliho. Spaghetti enak difoto untuk Instagram. Anak sekolah gampang dijadikan properti politik.
Sementara itu, anggaran pendidikan 20% APBN tetap gagal menyentuh jantung masalah. Guru honorer masih bergaji di bawah UMR. Sekolah pelosok masih mirip kandang ayam. Distribusi guru tetap semrawut. Â Namun siapa peduli? Yang penting ada adegan pejabat menyuapi anak dengan nugget. Lengkap dengan caption: "Menuju Indonesia Emas 2045."
Mari kita jujur: MBG bukan program gizi, melainkan program katering politik. Burger adalah simbol instanisme: cepat kenyang, cepat lupa. Â Spaghetti adalah metafora birokrasi kita: panjang, lengket, bikin seret di tenggorokan. Dan guru, tentu saja, tetap jadi sendok garpu: dipakai, lalu ditinggalkan kotor di meja.
Tak heran pejabat lebih suka tampil di depan kamera dengan sendok di tangan ketimbang pena kebijakan di meja kerja. Lebih gampang menyuapi anak untuk sekali tayang televisi ketimbang menyuapi guru dengan gaji layak seumur hidup. Â Dan seperti biasa: setelah pesta pencitraan selesai, yang kenyang hanyalah pejabat. Anak-anak dan guru kembali lapar---lapar makan, lapar keadilan, lapar kebijakan bermutu.Â
Jadi, selamat makan, Indonesia. Semoga anak-anak kita kenyang dengan burger subsidi, meski otaknya tetap lapar kebijakan bermutu. Dan semoga pejabat kita juga kenyang---kenyang pencitraan, kenyang tepuk tangan, dan kenyang jatah politik.**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI