Korupsi telah lama menjadi penyakit kronis yang terus menggerogoti Indonesia. Meski berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, masalah ini tetap menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Laporan terbaru dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2023 mengungkapkan fakta mencengangkan: terdapat 791 kasus korupsi yang melibatkan 1.695 tersangka, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 28,4 triliun. Angka tersebut cukup untuk membangun berbagai infrastruktur penting yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, dana itu hilang karena disalahgunakan.
Mayoritas pelaku korupsi berasal dari kalangan pejabat daerah. ICW mencatat bahwa 67% dari kasus yang dianalisis melibatkan eksekutif daerah, seperti camat, kepala dinas, hingga bupati dan gubernur. Fenomena ini menunjukkan terjadinya "desentralisasi korupsi," di mana otonomi daerah yang seharusnya membawa pemerataan pembangunan justru menciptakan peluang baru untuk penyalahgunaan wewenang. Sisanya, sebanyak 33%, melibatkan anggota legislatif di tingkat pusat dan daerah.
Menurut Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2023 berada di angka 34 dari 100, menempatkan negara ini di peringkat 115 dari 180 negara. Meski skornya stagnan dibandingkan 2022, posisi Indonesia turun lima tingkat dari peringkat sebelumnya. Hal ini mencerminkan bahwa upaya pemberantasan korupsi belum cukup efektif, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah terus menurun. Rasa frustrasi masyarakat semakin dalam ketika melihat banyak pelaku korupsi yang menerima hukuman ringan atau bahkan kembali menduduki jabatan setelah menjalani hukuman.
Korupsi di Indonesia memiliki keragaman modus operandi, dari yang sederhana hingga sangat kompleks. Salah satu bentuk yang paling umum adalah penyalahgunaan fungsi monopoli dalam sektor publik. Praktik seperti suap, sogokan, pungutan liar, dan uang pelicin sering kali ditemukan dalam layanan publik yang lamban, berbelit, dan tidak transparan. Ironi ini melahirkan ungkapan sinis seperti, "Kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat?"
Selain itu, korupsi kerah putih atau white-collar crime menjadi bentuk yang semakin marak. Modus ini biasanya melibatkan pejabat tinggi dengan akses ke informasi strategis dan kekuasaan besar. Budaya nepotisme turut memperparah situasi, di mana promosi jabatan atau pemilihan legislatif lebih sering didasarkan pada kedekatan personal dan imbalan tertentu dibandingkan sistem meritokrasi. Fenomena ini mengikis integritas lembaga pemerintah dan memelihara jaringan patronase yang sulit diputus.
Prof. Syamsudin Haris, seorang pakar politik dan peneliti senior BRIN (LIPI), menyebut bahwa "korupsi di Indonesia adalah refleksi dari budaya kekuasaan yang tidak terkontrol." Ia menambahkan bahwa tanpa reformasi struktural dan perubahan budaya politik, korupsi akan terus menjadi tantangan berat bagi bangsa.
Korupsi tidak hanya menyebabkan kerugian material tetapi juga merusak fondasi moral bangsa. Anggaran yang diselewengkan berarti rakyat kehilangan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Misalnya, banyak sekolah di daerah terpencil yang kekurangan fasilitas dan guru, sementara anggaran pendidikan dikorupsi. Di sektor kesehatan, puskesmas minim fasilitas dan obat-obatan menjadi cerminan nyata bagaimana korupsi telah merampas hak rakyat untuk hidup layak.
Menurut survei Political Economic Risk Consultancy (PERC), Indonesia pernah dinilai sebagai negara terkorup di Asia. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi masalah sistemik yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan. Seperti yang pernah disampaikan Prof. Emil Salim, "Korupsi adalah kanker yang memakan habis masa depan bangsa."
Pemberantasan korupsi di Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi simbol perjuangan melawan korupsi melalui operasi tangkap tangan (OTT) yang sering dilakukan. Namun, tekanan politik dan keterbatasan sumber daya sering kali menghambat efektivitasnya. Revisi Undang-Undang KPK pada 2019, misalnya, dianggap oleh banyak pihak sebagai langkah yang melemahkan lembaga tersebut.
Selain penegakan hukum, pendidikan antikorupsi menjadi langkah penting yang tidak boleh diabaikan. Nilai-nilai integritas harus ditanamkan sejak dini melalui pendidikan formal di sekolah dan kampus. Namun, upaya ini memerlukan komitmen serius dari pemerintah dan masyarakat agar antikorupsi tidak hanya menjadi slogan tetapi juga budaya nasional.