Jika kalian bertanya, "Di mana kamu menemukan harta karun?" jawabannya bukan di peti emas, melainkan di balik tumpukan buku bekas yang berdebu di sebuah toko kecil di belakang Kantor Bupati Pati.
Tempat ini jauh dari kafe-kafe modern dengan aroma kopi artisan---hanya ada bau kertas tua yang apek bercampur hawa lembap yang menenangkan. Ketika pertama kali melangkah ke sini tiga tahun lalu, saya hampir berbalik. Sebagai pegiat dari sanggar literasi "Cah_Sor_Pring", saya datang dengan keraguan: apa yang bisa ditemukan di sudut kota 'pinggiran' Pati ini, jauh dari hiruk-pikuk Solo, Jogja, Semarang, atau bahkan Jakarta?
Keraguan itu perlahan hilang, bagai dedak yang luruh dari lembaran buku tua. Perubahan dimulai ketika saya bertemu dengan pemilik toko, sebut saja Pak Darmo, yang sudah mengabdikan empat puluh tahun hidupnya untuk buku. Dengan kumis tipis yang memutih dan kacamata tebal yang melorot di ujung hidung, ia menyambut setiap pengunjung dengan senyum hangat. "Silakan lihat-lihat dulu, Mas. Jangan terburu-buru," katanya sambil melanjutkan menyusun buku dengan telaten.
Dari dialoglah saya belajar tentang filosofi sejatinya. Pak Darmo pernah bercerita tentang sebuah buku tipis bersampul cokelat kusam yang ia pegang dengan hati-hati. "Ini antologi puisi Chairil Anwar cetakan kedua, tahun 1950. Lihat, sampulnya robek, halamannya menguning. Tapi di dalamnya masih ada semangat yang sama: 'Aku ini binatang jalang.' Itulah yang saya jual---bukan buku, tapi semangat."
Saat itulah saya teringat kisah Aji Saka. Dari duka dan penyesalannya lahirlah aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka---bukan sekadar huruf, tapi narasi filosofis tentang kesetiaan, perselisihan, dan kematian sebagai bentuk pertanggungjawaban. Seperti halnya toko Pak Darmo, setiap buku di sini adalah aksara, unit cerita yang menunggu untuk dirangkai menjadi pengetahuan baru.
Pengalaman paling berkesan terjadi enam bulan lalu ketika saya menemukan novel "Bumi Manusia" edisi pertama dengan cap perpustakaan kolonial "Volksbibliotheek Batavia" yang masih jelas terbaca. Harganya hanya lima puluh ribu rupiah. Ketika saya bertanya mengapa begitu murah, Pak Darmo tersenyum. "Yang mahal itu bacanya, Mas. Kalau hanya dibeli lalu disimpan, sama saja bohong."
Kalimat itu mengubah cara pandang saya terhadap literasi. Di tengah zaman ketika buku-buku glossy dipajang sebagai dekorasi Instagram, toko ini membuktikan bahwa nilai sejati terletak pada interaksi antara pembaca dan teks. Setiap kali saya datang, Pak Darmo selalu bertanya, "Sudah selesai yang kemarin? Bagaimana rasanya?" Ia tidak hanya menjual buku, tapi memfasilitasi perjalanan intelektual setiap pembacanya.
Toko ini seperti inti dari semangat Aji Saka itu sendiri---sesuatu yang berharga dan penuh pelajaran dari tempat yang paling tak terduga. Pak Darmo paham bahwa nilai buku bukan pada kemewahan sampulnya, tapi pada aksara dan narasi di dalamnya, persis seperti nilai manusia yang terlihat dari tindakan dan pertanggungjawaban.
Di sudut belakang toko, ada kursi kayu tua tempat Pak Darmo biasa duduk sambil membaca. Di sebelahnya, tergantung kaligrafi sederhana: "Membaca adalah jendela dunia, menulis adalah pintu masa depan." Kutipan klise, mungkin. Tapi di tempat ini, klise itu hidup dan bernapas dalam setiap interaksi, setiap rekomendasi, setiap cerita yang dibagikan.
Bagi saya, toko buku bekas di belakang Kantor Bupati Pati bukan sekadar tempat jual-beli. Ia adalah wujud hidup dari semangat Aji Saka---tempat di mana aksara-aksara tua menemukan kehidupan baru, di mana literasi diukur bukan dari kemewahan, tapi dari kedalaman pencarian dan kejujuran dalam membaca.